Alasannya sederhana, radio merupakan media massa yang membuka kesempatan masyarakat, tidak terkecuali para penyandang tunanetra, untuk bisa berinteraksi.
Media dan informasi merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Kebutuhan utama dari media adalah informasi (data, fakta, peristiwa) yang mengandung nilai berita (Damarstuti, 2012, h. 75).
Sama halnya dengan media lain, radio juga menciptakan platform berbasis internet dengan sajian informasi yang mudah dijangkau. Sama seperti ketika embrionya dilahirkan, platform radio diciptakan konsisten sesuai dengan identitasnya sebagai media berbasis audio.Â
Maka, hubungan antara radio dan informasi pun tidak bisa dipisahkan. Radio masih menduduki tahta sebagai media massa penyalur informasi.
Begitu saja?
Radio Journalism
Dalam penyampaian informasi radio pun memiliki kaidah jurnalistik. Secara umum, jurnalis radio juga wajib patuh terhadap etika jurnalistik dan memiliki pemahaman tentang teknik wawancara, menulis maupun bertutur.
Lagipula, jaringan internet memungkinkan radio untuk membuka platform dalam bentuk website selayaknya media daring lainnya. Bahkan sebelumnya, tidak sedikit radio memanfaatkan internet untuk menciptakan teknologi streaming radio. Â
Andrew Dubber dalam bukunya yang berjudul "Radio in the Digital Age" mengungkapkan bahwa teknologi digital menantang media broadcast untuk mampu memberikan inovasi yang menarik khalayak (2013, h. 165).
Nah, inovasi tersebut dilakukan dengan sajian informasi yang 'mumpuni' untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Hal ini yang menjadi alasan jurnalis radio juga harus memiliki kemampuan yang sama seperti jurnalis media lainnya. Â
Konten media berupa visualisasi gambar dan tulisan menjadi daya tarik bagi masyarakat dalam menjangkau informasi. Selain itu, adanya siaran live maupun podcast tidak menghilangkan identitasnya sebagai radio.