PENGANTAR
Kodrat manusia bukan hanya rasional tetapi juga relasional.[1] Relasi manusia dengan sesamanya adalah suatu komunikasi dalam hidup sehari-hari. Kedua subjek berada dalam zona komunikasi timbal balik. Manusia tidak hanya mempunyai rasionalitas saja tetapi ia juga menggunakannya untuk berelasi dengan sesamanya. Aku (subjek) menjadi eksistensi yang mengelola, menjaga keberadaanku dan keberlangsunganku dalam hidup. Demikian juga dengan sesamanya manusia. Keduanya adalah manusia-manusia yang menjadi.[2]Saat Aku dan sesamaku berkomunikasi, saat itu tercipta “kami” (we). Kami bukan perpaduan antara aku dan sesamaku, melainkan “keberadaan bersama”.[3] Pertanyaan mendasar dalam menjelaskan relasionalitas dalam konteks di dunia kerja adalah siapa itu sesamaku? Apakah sesamaku itu adalah dia yang memiliki kesamaan dengan diriku yaitu kesamaan dalam hal agama, suku, jabatan maupun ras? Apakah orang yang berbeda dengan diriku bukanlah sesamaku? Pertanyaan itulah yang menjadi persoalan besar yang dihadapi kita di Indonesia dalam mengerti siapa itu sesamaku (Liyan).
ASAL-USUL LIYAN
Untuk menjelaskan asal-usul Liyan saya mengutip tulisan dari Romo Armada dalam bukunya yang berjudul Relasionalitas.
“The Other” tidak ada (atau, tidak mungkin ada) dalam filsafat Timur. Dalam metafisika Timur tidak memberikan posibilitas bagi kehadiran sosok yang disebut Liyan. Konsep tentang Liyan dimulai dari episode rasionalitas yang bernama politik. Dalam politik disajikan peluasan segala aspek keutamaan dan prinsip-prinsip tata hidup bersama. Tetapi, dalam politik itu manusia menjadi terbagi, terdistingsi, dan pada saat yang sama juga tereduksi makna kehadirannya.[4]
Dalam penjelasan Romo Armada, jelas sekali bahwa sosok Liyan merupakan sosok yang dianggap tidak ada atau tidak mungkin ada. Bahkan metafisika timur tidak memberikan ruang bagi hadirnya sosok Liyan. Bahkan konsep tentang Liyan muncul diawali dari episode rasionalitas yaitu politik. Konsep tentang Liyan muncul ketika Plato menyebut polis dengan lapisan-lapisan masyarakat, seperti pemimpin, militer, dan produsen, mereka ini yang disebut sebagai warga negara sedangkan wanita dan anak-anak tidak termasuk warga negara. Apalagi, para budak dan orang asing. Dalam bahasa saat ini, kehadiran perempuan, anak-anak, para budak dan orang asing sejauh tidak terlibat dalam tata kelola hidup bersama, merupakan kehadiran Liyan. Mereka adalah orang lain, bukan bagian dari “the self”-nya polis.
Romo Armada lebih lanjut menuliskan asal-usul Liyan dalam bukunya Relasionalitas yang dikutipnya dari buku Aristoteles seperti demikian.
Aristoteles dalam bukunya, Politics, juga berkata bahwa dari kodratnya manusia terdiri dari the ruling and the ruled. Dalam bukunya ini, ia tidak sedang menjelaskan tentang stratifikasi manusia dalam politik, tetapi ia menggagas kodrat dari polis yang identik dengan kodrat manusia. Artinya, jika di dalam polis kita jumpai ada sekelompok manusia yang memerintah, mengatur, memiliki kekuasaan dan juga ada sekelompok manusia yang diperintah, diatur, dan memiliki sekadar kekuatan fisik belaka; maka, halnya selaras pula dengan kodrat manusia, yaitu ada yang dilahirkan sebagai kelompok the ruling dan ada yang termasuk the ruled.[5]
Berdasarkan pemikiran Aristoteles dalam bukunya, Politics, Romo Armada menyimpulkan bahwa Liyan berasal dari kodrat the ruled atau orang-orang bawahan yang selalu diatur dan dipimpin, karena mereka adalah sekelompok manusia yang hanya sekadar memiliki kekuatan fisik belaka. Dalam filsafat Aristotelian ini Romo Armada mengatakan bahwa Liyan menjadi jelas kedudukannya karena menjadi sosok-sosok yang tidak terhitung dalam tata kelola hidup bersama. Apalagi, yang disebut warga negara adalah mereka yang diberikan dengan segala fasilitas ruang pengetahuan dan waktu luang. Artinya, warga negara secara sosial mendapatkan segalanya untuk mengembangkan kapasitas manusiawinya, sementara Liyan berada dalam wilayah pinggiran.