Usianya ketika itu kira-kira 15 tahun. Sebut saja ia Si Enjem. Enjem (30) anak pertama dari 2 bersaudara. Adiknya adalah seorang gadis belia yang sedang sibuk meniti karier. Â
Orang tua perempuannya tak hanya berstatus sebagai ibu rumah tangga. Beliau juga menjadi pekerja di Asrama Putri dan Panti Asuhan milik komunitas biarawati yang berada di Jawa Timur. Kalau orang tua prianya adalah seorang karyawan di sebuah percetakan sablon.
Kala itu, bersama keluarganya Enjem tinggal di rumah neneknya. Tetapi penghuni di rumah tersebut bukan hanya keluarga Enjem saja. Ada 3 kepala keluarga (KK) lain. Semuanya adalah saudara kandung dari ibu Enjem.
Sayangnya Enjem sekeluarga tak bertahan lama tinggal di kediaman nenek. Ia dan keluarga memutuskan untuk mencari hunian sendiri. Letak rumah baru Enjem berjarak tak lebih dari 1 Km dari griya sang nenek.
Bisa dikata penyebab Enjem sekeluarga pindah ialah faktor lingkungan yang kurang memiliki dampak positif untuk tumbuh kembang dirinya sebagai remaja. Bukan karena daerahnya terlalu padat penduduk atau kumuh, melainkan maraknya pergaulan negatif para pemuda di daerah tersebut.
Saat itu Enjem masih berjuang untuk menuntaskan studi sebagai siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) tingkat akhir. Karena latar belakang keluarganya sebagian besar beragama Katolik, selepas melewati usia pra sekolah orang tua Enjem selalu memasukkannya di lembaga pendidikan Katolik. "Mungkin supaya saya bisa menjadi orang yang beriman dan berpendidikan serta menjadi orang yang baik," kira-kira begitu asumsi saya.
Seperti remaja yang seusia pada umumnya, Enjem cukup banyak terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan di luar lingkup tempat tinggalnya. Seperti keterlibatan pelayanan di lingkungan gereja yakni sebagai pelayan liturgi seorang Imam saat perayaan misa atau yang biasa disebut dengan Misdinar. Enjem juga menjadi bagian dari redaksi sebuah buletin bulanan milik gereja yang selalu menerbitkan informasi segala aktivitas yang ada di lingkup gereja.
Layaknya seorang remaja, Enjem tak bisa bercerai dengan kata nakal. Sebagai seorang pelajar, saat SMP Enjem cukup sering bolak-balik mengunjungi ruangan guru Bimbingan Penyuluhan (BP). Kalau istilah zaman sekarang ialah guru Bimbingan Konseling atau biasa disingkat guru BK.
Terlalu sering mengajak teman adu pukul dan bolos sekolah adalah penyebab seringnya Enjem keluar-masuk ruangan guru BP.
Dalam lingkup sekolah, oleh teman-teman seangkatan, Enjem adalah orang yang paling disegani. Entah karena riwayatnya yang sering jadi pengunjung ruang BK atau bisa karena parasnya yang garang.
Enjem juga memiliki otoritas penuh atas gerombolannya pada saat itu. Teman-temannya selalu menuruti apa yang terucap dari bibirnya. Jika Enjem berkata A tak ayal teman-temannya juga langsung melaksanakan A.
Ada pula kenakalan lain dari diri Enjem yakni sering menumpang mobil bak terbuka untuk bertamasya ke luar kota. Kalau orang Surabaya biasa menyebutnya dengan istilah nggandol.
Mohon bisa dimaklumi jika pribadi Enjem demikian. Karena selain bergaul dengan teman satu sekolah dan teman gereja, Enjem juga bersahabat dengan orang-orang yang sering berjuang melawan kerasnya hidup di jalanan ibu kota Jawa Timur.
Namun setiap insan yang dilahirkan selalu punya dua sisi yakni sisi buruk dan sisi baik. Enjem pun juga demikian. Di balik kemesraan antara dirinya dan kenakalannya, ada sisi baik yang dapat dilihat dari diri seorang Enjem.
Enjem menekuni hobi di bidang musik secara otodidak sejak kecil. Hal ini mengantarkannya meraih prestasi yang cukup membanggakan di kala SMP. Grup band sekolahnya mampu menjuarai kompetisi band antar pelajar Katolik kota Surabaya. Pada masa itu Enjem dipercaya sebagai pemain bas dalam komposisi grup band sekolah.
Namun kehidupan remaja Enjem berubah 180 derajat tatkala berada di dalam rumah sendiri. Enjem sangat manja dan menurut kepada kedua orang tuanya. Terdengar aneh bukan.
Menurut penulis masa remaja adalah masa yang bergejolak. Berbagai aneka bentuk kenakalan dan kebaikan menemani proses seseorang untuk melewati masa-masa remaja.
Masa remaja Enjem kala itu adalah fase di mana ia berusaha mencari sebuah pengakuan diri. Hal ini Enjem lakukan agar tak dipandang sebelah mata oleh teman-teman serta orang-orang sekitarnya.
Suasana hati Enjem juga sering berubah-ubah kala itu. Hal ini biasa terjadi karena beban yang ia panggul sebagai seorang pelajar cukup berat.
Gempuran berbagai ujian dan aneka pekerjaan rumah dari sekolah menjadi salah satu sumber penyebabnya. Belum lagi dinamika sosial di pergaulan dengan teman-teman yang membuat Enjem terjerembap dalam "dunia hitam". Dunia yang sangat amat hitam.
Bersambung...Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H