Mohon tunggu...
Andreas Maurenis Putra
Andreas Maurenis Putra Mohon Tunggu... Penulis - Nian Tana (Sikka)

Filsuf setengah matang... Sempat mengais ide di Fakultas Filsafat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membedah Akar Radikalisme

7 Februari 2021   15:02 Diperbarui: 7 Februari 2021   18:51 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Impersonalitas terbukti menggerogoti sendi kehidupan dalam berbagai aras. Prosesnya, manusia tidak lagi dilihat sebagai personal (pribadi) yang utuh tetapi direduksi menjadi sejajar dengan suatu hal saja. Nama seorang narapidana, Choukov, diberi label angka CH 854 (Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan) adalah contoh nyata kasus ini. 

Choukov sebagai pribadi direduksi menjadi sekadar deretan angka. Selain itu, apa yang dipertunjukkan Hitler turut mengukuhkan pengingkaran personalitas manusia. Kisah Auschwitz menjadi fakta sejarah yang tak pernah dilupakan. Genosida dimaklumi atas pembenaran impersonalitas. 

Begitu pun dengan kasus seorang Afrika berkulit putih, J.P Botha yang mengatakan di televisi bahwa "delapan orang di kapal Nuh berkulit putih dan semua orang adalah keturunan mereka, orang-orang berkulit hitam adalah binatang-binatang dari Veldt, dan bukan manusia" (Keith Ward, Benarkah Agama Berbahaya?). Choukov, arogansi Hitler dan kasus Botha adalah segelintir ilustrasi impersonalitas brutal sejarah peradaban bangsa manusia.

Menilik ke masa kini, praktek impersonalitas, ternyata semakin kuat. Ironisnya, ideologi semacam agama seakan menjadi lahan basah bertumbuhnya banalitas kejahatan model ini. Meskipun sejarah mencatat bahwa agama memberi sumbangsih pada nilai-nilai luhur kemanusiaan dalam peradaban namun agama juga kerap tampil dalam wajah lain. 

Wajah lain yang dimaksud adalah agama disalahgunakan untuk memperjuangkan kepentingan naf dari pribadi dan kelompok. Mungkin agama an sich tidak tampil dalam dimensi ini. Menjadi problematis karena fakta ketakterpisahannya dari pemeluknya. 

Di sinilah "wajah lain" agama lazim terlihat. Wajah lain ini mengambil wujud, salah satunya, melalui doktrin-doktrin radikal dalam dunia pendidikan. Secara khusus, melalui pelajaran agama. Dengan kata lain, pelajaran agama menjadi legitimasi kejahatan impersonalitas terhadap individu. Setiap orang atau kelompok dibuat sedemikian rupa menjadi bukan pribadi bahkan secara subjektif tak dihargai.

Haryatmoko memberi contoh. Sering kita mendengar bahwa seorang anak sekolah mengalami perubahan sikap terhadap teman-temannya yang berbeda keyakinan. 

Di rumah, orang tuanya mendidik dan mengajarkan untuk menghormati teman-teman yang berbeda agama. Namun ketika pulang dari sekolah, setelah menerima pelajaran agama dari guru, ia tidak mau bergaul lagi dengan teman-teman yang berbeda keyakinan dengan alasan mereka akan akan masuk neraka. Ini sangat menyedihkan. Dan semuanya, mendapat pembenaran dari agama dan guru agama yang mengajarkannya. Seorang anak SD ketika melintasi rumah ibadat agama lain, berujar pada ibunya. Bu, katanya rumah itu, tempat orang-orang jahat.

Pernyataan "tempat orang-orang jahat" mengindikasi sebuah fakta dibalik realitas pendidikan bahwa besar kemungkinan ada peran guru agama, pengkhotbah dan pemuka agama terhadap kejahatan ini. Jika kita tidak harus malu untuk menceritakan para pengkhotbah agama yang cenderung mengurusi "dapur" agama lain (dalam khotbah) maka kita telah berani jujur akan fakta wajah dinamika keberagamaan Indonesia. 

Mengingkari kodrat pribadi menandakan supremasi kebencian dan penolakan dari dalam diri terhadap keunikan orang lain secara khusus menolak keragaman keyakinan. Realitas semacam ini menyingkapkan kemiskinan yang bukan saja intelektual melainkan rasa kemanusiaan. Sebuah pengingkaran terhadap keutuhan subjek yang berujung pada sikap membenci dan menolak "yang berbeda" inilah yang disebut fanatisme. 

Kata Mohamad Sobary, sekarang ini masing-masing pemeluk agama cenderung bersikukuh memegang aneka corak simbol luar yang mempertegas adanya social grouping yang memisahkan dengan tajam "aku" dan "dia", serta "kami" dan "mereka". Lanjut Soebary, pemisahan ini dianggap penting karena keterpisahan ini dibuat dengan satu jarak surga-neraka. "Kami" sudah jelas, bagian dari calon penghuni surga dan "mereka" sebaliknya, calon penghuni neraka jahanam. 

Impersonalitas, fanatisme, dan pengajaran agama bagaimanapun menjadi ancaman serius bagi integritas dan humanitas. Impersonalitas, pelajaran agama dan fanatisme adalah unsur yang saling terkait. Di sini, impersonalitas terproses dalam pelajaran agama. Sebaliknya, agama menjadi salah satu tempat tumbuh suburnya impersonalitas. Fusi antara kedua komponen ini menghasilkan fanatisme. 

Patut disayangkan jika mentalitas menolak "yang berbeda" terus dipelihara. Memaafkan kebiasaan-kebiasaan destruktif melalui ketidaktegasan hukum sama halnya dengan menyetujui lahirnya generasi tumpul moralitas. 

Ini sekaligus, perlahan-lahan, menciptakan bangsa anti realitas sosial yang berujung pada hilangnya penghargaan atas pluralitas. Pelajaran agama sesungguhnya diarahkan pada substansi dan esensinya yakni memanusiakan manusia yang terjaga harkat dan martabatnya. Pada akar paling dasar, substansi dan tujuan pelajaran agama adalah mencegah disintegrasi sosial.

(Mungkin) menuduh pelajaran agama sebagai lahan yang menyuburkan fanatisme dengan impersonalitas sebagai pupuk, tidaklah bijak. Harapan bersama adalah menginginkan agama menjadi solusi atas tindak kekerasan dalam bentuk apapun. Namun bahwa harapan seringkali bertolak belakang dengan praksis fakta yang tak mungkin diingkari. 

Maka tidak berlebihan jika agama "dituduh" mengayomi unsur-unsur radikal itu. Hannah Arendt dalam The Human Condition, bisa sangat jeli mengkritisi kalau manusia tergoda untuk mengubah dan menyalahgunakan agama menjadi ideologi dan menodai usaha yang kita perjuangkan melawan totalitarianisme dengan suatu fanatisme adalah musuh besar dari kebebasan.

Hakikatnya manusia sadar meskipun tetap bersikukuh mengeksploitasi agama. Teredusirnya sikap bijak tak jarang membuat kelompok tertentu terjebak dalam paham universalitas yaitu sebuah asumsi bahwa agama tertentu benar jika dibandingkan dengan yang lainnya. 

Akhirnya, semua agamawan dirangsang untuk tampil ke publik dengan klaim kebenarannya masing-masing. Klaim ini kemudian bahkan membias ke bidang-bidang lain. Ibarat peribahasa, sambil menyelam minum air, pengajaran agama ini juga disisipi dengan mencari titik lemah agama lain untuk dibungkam.

Impersonalitas dan fanatisme bertumbuh subur melalui model ekspansi pengajaran. Dalam konteks ini pelajaran agama menjadi semacam biang kerok pembodohan spiritualitas generasi bangsa. Kalau hidup spiritual saja berada dalam kondisi krisis, mungkinkah moralitas bisa diandalkan? Bukankah dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat? 

Dengan kata lain, apa yang terlihat selalu menampakkan apa yang tak kelihatan. Maka, teguran Yesus terhadap ahli-ahli taurat dan orang farisi tepat adanya. Mereka hanya membersihkan bagian luar cawan supaya kelihatan bersih dan mengkilap sedangkan bagian dalamnya kotor dan dan menjijikkan (Matius 23:25). 

Apa artinya? Jangan sampai tampilan kita berwibawah untuk disegani, sementara hati kita penuh kebusukan. Kritik Yesus, jika ditarik ke dimensi hidup modern, tentu sangat relevan. Sadar atau tidak, para pemuka agama atau pun pengajar agama akan tampil wibawa dan terlihat bijaksana, namun kenyataan seringkali menunjukkan bahwa jauh di dalam nurani tersimpan kemunafikan dan hasrat kebencian terhadap kelompok tertentu. Ini fenomena, meski tidak secara masif di kalangan pengajar agama atau pemuka agama, namun bukan berarti tidak ada.

Tersebarnya organisasi dan kelompok radikal yang merupakan kaum dengan ideologi sektarian mengancam integritas tidak pernah menutup fakta keseharian berbangsa dan bernegara. Menghasut, mengancam, meneror dan membenci merupakan mekanisme kerja yang dilegalkan. Lazimnya mereka berkoar-koar mengatasnamakan kehendak Tuhan yang diwahyukan kepada mereka. Mereka seolah tahu betul jalan dan rancangan Tuhan terhadap hidup tiap orang hingga memprediksi konsep keselamatan. 

Tanpa rasa berdosa, mereka mengajarkan dogma baru ini melalui alat pengeras suara, medsos bahkan opini pribadi. Mereka berteriak kafir padahal kafir atau tidaknya seseorang, Allah yang tahu tegas Sobary. Kita melihat adanya bias yang lebih sporadis hasil konspirasi antara pelajaran agama, impersonalitas dan fanatisme. Tiga komponen ini menjadi wabah yang menyerang ke berbagai konteks kehidupan. Perpaduan ketiga unsur ini merambah hingga ke aspek pluralitas, integritas, humanisme dan moralitas. Wajahnya bervarian.

Sekali lagi, jika menilik kembali persoalan-persoalan yang terjadi dalam kehidupan berbangsa, tak dipungkiri bahwa pelajaran agama dijadikan tempat menumbuhkan proses impersonalisasi dan fanatisme. 

Di Indonesia, entah mengapa hal destruktif semacam ini telah mendarah daging. Dulu bangsa kita berjuang melawan kediktatoran kolonialisme Dutch dan Nippon. Sekarang kita mesti melawan bangsa sendiri, yang mengemas diri dalam kelompok-kelompok radikal memprovokasi, menyebar teror dan mereduksi esensi pengajaran agama. Bangsa kita menikmati kebebasan hidup melalui kemerdekaan yang cukup uzur. Kita telah merdeka tapi hanya dari kekangan primordialisme asing dan bukan dari primordialisme bangsa sendiri.

Maka, tak ada solusi hebat untuk lepas bebas dari akar-akar radikalisme ini kecuali masing-masing kita membaca dan menghayati falsafah luhur bangsa kita yaitu Pancasila. Cukup dengan menghayati dan mendalami secara terus-menerus, Pancasila mampu menjadi a living ideology yang membumi bukan hanya mengawang layaknya digantung dalam pigura-pigura di dinding. 

Mengapa Pancasila? Melalui bukunya Dalam Merajut Kembali Keindonesiaan Kita, Sultan Hamengku Buwono membantu kita untuk menjawab. Melalui falsafah inilah kita mengerti landasan spiritual, moral dan etik yang bersumber pada sila pertama. Kita diajarkan oleh sila kedua untuk menghormati harkat dan martabat dan menjamin hak-hak asasi manusia. Melalui sila ketiga, kita mampu memberi tempat pada kemajemukan, tidak menghilangkan perbedaan alamiah dan keragaman etnis bangsa kita. Sementara melalui sila keempat kita dengan penuh sadar melapangkan hati dan pikiran kita untuk belajar demokrasi. Dan terakhir, sila kelima akan menyokong tiap-tiap individu mencita-citakan masyarakat yang adil dan makmur.

Kita semua terpanggil untuk mengamalkannya demi keutuhan NKRI.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun