Pasal-pasal besar yang termaktub dalam konstitusi telah cukup lama mengatur hajat hidup masyarakat Indonesia. Beragam pasal diaklamasikan untuk menjaga akhlak setiap anak bangsa untuk berperilaku dan bertindak secara tepat di tengah berbagai keberagaman. Satu di antara pasal tersebut mengatur “Hak setiap orang untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak agar tidak dituntut atas hukum yang berlaku surut, hak atas bebas dari perlakuan diskriminatif, perlindungan terhadap budaya dan hak masyarakat tradisional, semua perlindungan atas a negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara” (Pasal 28 I Ayat 1).
Menilik bunyi pasal ini berarti mengandaikan setiap orang di negara ini paham bahwa kebersamaan sebagai sebuah sivilisasi Indonesia tidak berarti harus sama. Jika seorang harus diwajibkan memakai jilbab bukan berarti semua harus memakai jilbab. Menghargai pluralitas tidak berarti harus sama sebagai bentuk toleransi. Fakta bahwa atas nama toleransi, intoleransi kerap kali menjadi praksisnya tak bisa dipungkiri. Penghargaan atas pluralitas tak jarang terjadi (disadari atau tidak) oleh keadaan. Dan itu wajah peradaban kini, wajah kita Indonesia.
Di tengah aneka duka kemanusiaan, sejumlah kabar duka dan bencana alam yang menimpa Indonesia terutama di awal 2021 kita kembali dihadapkan pada persoalan dasar usang. Di tengah berbagai upaya gotong royong penanganan atas berbagai peristiwa seperti jatuhnya pesawat Sriwijaya Air, tanah longsor di Sumedang, gempa di Sulawesi Barat, hingga banjir di Kalimantan Selatan, kita justru dikejutkan dengan persoalan mendasar perihal intoleransi: kewajiban mengenakan jilbab bagi siswi non-Muslim di SMKN 2 Padang. Mirisnya, pemaksaan mengenakan jilbab untuk beberapa siswa non-muslim di daerah Padang terjadi di kala umat manusia sedang bersama-sama bergulat dengan pandemi covid-19.
Dunia pendidikan yang mestinya menjadi wadah perealisasian manusia-manusia berbudaya justru gagal. Terutama di tengah krisis kemanusian global, dunia pendidikan adalah ruang yang tepat untuk membangun optimisme dan membangun keluhuran akhlak perihal kebersamaan sebagai nilai tertinggi dan urgen ketimbang memperkarakan berbagai kebhinekaan yang ada, lalu menggagas berbagai aturan untuk dipatuhi atas nama “toleransi”.
Persoalan jilbab di SMKN 2 Padang yang ramai diperbincangkan di jagat media (beberapa hari belakangan ini) adalah persoalan yang mesti segera diselesaikan oleh dunia pendidikan. Ada banyak muatan makna simbolis soal jilbab. Dan ini yang hendak digagas penulis dalam perspektif beberapa pakar Islam. Perihal wajib atau tidaknya memakainya adalah perkara setelahnya, sesudah setiap individu paham makna jilbab.
Artinya, bukan soal “wajib atau tidak wajib” memakai jilbab tetapi pembelajaran komprehensif tentang jilbab dalam dunia pendidikan (agama) adalah urgen. Muhammad Sa’id Al-Asymawi dalam bukunya Kritik atas Jilbab mengatakan bahwa jilbab merupakan pakaian yang tidak terlepas dari tradisi dan kebiasaan, bukan perkara kewajiban dan ibadah. Baginya, yang diinginkan secara syariat dan agama hanyalah agar perempuan, juga laki-laki, berlaku sopan dan menjaga kehormatan.
Pandangan Al-Asymawi selaras dengan pendapat cendekiawan muslim Nurcholish Madjid dan Quraish Shihab yang mempertegas bahwa jilbab lebih terkait dengan kesopanan, bukan kewajiban atau ketaatan. Bagi mereka jilbab itu baik, tapi tak wajib. Bahkan jauh sebelumnya, dalam sebuah penelitian, antropolog El Guindi menemukan fakta pemakaian jilbab oleh perempuan di Persia dan Mesir. Itu artinya jilbab dikenakan kaum perempuan jauh sebelum dikenakan kaum perempuan Yahudi, Kristen, Islam.
Dengan kata lain, bukan hanya seorang muslimah yang mengenakan jilbab tetapi juga perempuan Yahudi dan Kristen. Hasil penelitian panjang El Guindi sampai pada kesimpulan bahwa jilbab berfungsi sebagai bahasa penyampai pesan sosial budaya. Itu artinya jilbab memiliki beragam muatan makna simbolis. Termasuk juga, keragaman pendapat definisi jilbab.
Hari-hari pun ini misalnya, jilbab memiliki banyak makna simbolis: politik, ekonomi, sosial dan religius. Seorang perempuan calon legislatif berjilbab bisa saja didorong oleh motif politik demi “jumlah kursi”. Perempuan berjilbab, bisa saja karena memang berjualan jilbab misalnya (motif ekonomi). Trendi dan modis berjilbab bisa saja demi gengsi sosial. Dan lebih penting adalah soal religiusitas. Artinya, jilbab mesti memberi makna tentang panggilan religiusitas seorang Muslim bukan tentang wajib atau tidak wajib (dengan mengingat pandangan para cendekiawan di atas). Sehingga tidak ada paksaan karena prinsip kebebasan beragama bahkan kepada seorang perempuan Muslim sekalipun. Jilbab harus menjadi sebuah panggilan hati bukan karena faktor pengkondisian.
Soal jilbab, tentu ada keselarasan antara UUD 1945 Pasa 28 I Ayat 1 dan Permendikbud Nomor 45 Tahun 2014. Yang pertama berbicara tentang “hak dan kemerdekaan” individu. Yang kedua tentang seragam sekolah bagi pendidikan dasar dan menengah yang menyebutkan “pakaian khas sekolah diatur sekolah dengan tetap memperhatikan hak setiap warga negara untuk menjalankan keyakinan agama masing-masing.” Dalam sudut pandang ini jelas konteksnya bahwa “mewajibkan” siswi non-Muslim mengenakan jilbab adalah bentuk pengingkaran terhadap konstitusi serta pengabaian akan pluralitas. Pun terhadap siswi Muslim sekalipun tidak semestinya diberlakukan paksaan pemakaian jilbab apabila merujuk pada berbagai pendapat cendekiawan.
Dari kasus ini lembaga pendidikan mesti melakukan reorientasi perihal hakikat dan tujuan asalinya. Dalam nada yang serupa, pendidikan mesti menjadi wadah self-realization (Rousseau) agar manusia-manusia di dalamnya menjadi pribadi yang merdeka (Driyarkara) yang tidak terhalang oleh tuntutan administratif yang tidak meningkatkan kualitas pendidikan. Karena itu aturan dalam lembaga harusnya tidak mengekang kemerdekaan individu, kemerdekaan untuk bertumbuh selaras hak-haknya dalam bingkai tanggung jawab.