Pada suatu saat ada sahabat saya dengan muka murung menghampiri dan mulailah bercerita. Pada intinya lingkungan kerjanya sudah tidak nyaman lagi. Hubungan sesama pegawai tidak harmonis lagi, bahkan ketika berpapasan mau melihat muka saja itu sudah luar biasa. Ditambah lagi muncul ketidakpercayaan pimpinan, muncul curiga, di antara pegawai pun muncul kelompok kelompok, yang di antaranya muncul bibit bibit persaingan tidak sehat, saling berebut peluang, saling cari muka ke pimpinan, pingin selalu kelihatan dan terlihat, pingin menguasai semua peran di tempat kerja. Seperti hanya formalitas saja situasinya, dan bahkan kadang kadang terjadi perdebatan dan berakhir dengan pertengkaran. Tidak ada nyaman nyamannya sama sekali.
Tidak saya pungkiri bahwa sahabat saya ini tergolong karyawan yang pandai di atas rata-rata, rajin dan punya keahlian dan keterampilan di luar bidangnya bahkan, dan membantu di sana sini di luar area kerjanya. Dan juga, tempat kerja di mana dia bekerja awalnya tidak seburuk yang ia curhatkan saat ini, walaupun memang sebelumnya ada kelompok kelompok yang memang pengacau, tapi tidak separah kali ini. Namun hal yang sama, teman teman baiknya yang sebelumnya baik baik saja, mulai tidak baik baik saja. Ada yang menjadi bermuka dua untuk mencari keselamatan, ada yang mulai tidak mau berterus terang alias menutupi sesuatu, ada yang menjadi super cuek, ada yang menjadi kancil nan licik, ada yang menjadi pemarah, ada yang menjadi pribadi keras kepala.
Akhirnya banyak hal yang kami diskusikan bersama waktu itu, saya dengan sahabat saya. Memang dapat saja terjadi di dalam lingkungan kerja sebuah dinamika, situasi, kondisi yang up and down. Tapi jika sudah menjadi keterlaluan, maka tidak bisa untuk dikesampingkan begitu saja, karena tentu saja akan berpengaruh pada kinerja semuanya, dan ujung ujungnya kualitas menurun dan perusahaan rugi. Hal ini tidak boleh terjadi.
Ketidakberesan lingkungan kerja yang menuju pada semakin jelek jelek dan jelek, bahasa sederhananya biar gampang kita sebut lingkungan kerja toxic. Menurut saya yang memegang peranan paling penting dan utama mengenai lingkungan kerja toxic adalah pribadi masing masing yang terlibat dalam lingkungan kerja tersebut. Besar kecil toxic tergantung pada seberapa besar triger penyulut toxic tersebut berlelehan keluar dari botol penyimpanannya. Karena apa, karena sifat baik dan buruk orang yang tersimpan dalam kepribadiannya berbeda beda dan ketahanan untuk mengendalikan setiap orang juga berbeda beda. Tergantung trigernya, menyulut yang mana, sifat baik atau sifat buruk. Peran pimpinan sangat besar, jika bisa menyebarkan triger kebaikan, maka sifat sifat buruk relatif teredam, dan berlaku sebaliknya. Namun begitu  juga dengan peran komunitas, para pekerja sendiri, solid atau tidak, secara hubungan pribadi dalam tidak relasinya, juga mempengaruhi peluang munculnya toxic tersebut.
Nah, kalau ternyata nasi sudah jadi bubur, artinya betul betul lingkungan kerja sudah jadi seperti neraka, apa yang bisa kita perbuat, kita sebagai pegawai, bukan sebagai pimpinan. Paling mudah adalah meninggalkan, selesai. Tapi kalau pilihannya bukan itu, alias masih harus bekerja di tempat itu, maka perlu beberapa hal harus dilakukan.
Menjadi orang baik, dan menjadi orang jahat adalah merupakan pilihan. Di situasi apapun. Begitu juga menjadi orang kuat, dan menjadi orang lemah juga adalah merupakan pilihan. Maka, di situasi lingkungan toxic, pilihan menjadi orang baik dan kuat adalah pilihan yang pas. Namun tidak mudah.
Sekali lagi, yang menentukan seperti apa diri kita adalah kita sendiri. Selama belum didapat, ya susah. Dan juga bagaimaka kita memandang dan memahami orang lain. Orang lain itu wataknya macam macam. Ada yang baik ada juga yang benar benar menjengkelkan. Dan apapun watak mereka, ada alasan di baliknya yang kadang kita belum tahu, untuk saat ini. Demikian juga orang lain memandang kita, pasti demikian. Hal demikian di luar kendali kita, yang pada akhirnya kita hanya bisa merelakan saja, ya let it go saja, karena di luar kontrol kita. Watak apa yang akan orang lain perlihatkan, dengan latar belakang mereka yang seperti apa, bukan kekuasaan kita untuk mengaturnya, alias di luar kontrol kita.
Yang bisa kita lihat dan amati adalah tindakan tindakan orang lain. Menurut saya pribadi, tindakan orang hanya ada 2, yaitu untuk kebaikan dan bukan untuk kebaikan. Kebaikan yang tidak ada embel embelnya. Jika ada orang yang melakukan tindakan demi kebaikan, kita wajib untuk berelasi dengan tulus. Jika ada orang bertindak tidak untuk kebaikan, maka kita boleh boleh saja berbasa basi dengan orang seperti ini, alias formalitas saja lah.
Kesehatan mental, kesehatan mental kita jauh lebih penting dari pada mengikuti kemauan lingkungan kerja toxic. Perkecil bertemu dan berelasi dengan orang orang toxic. Jika pun harus bertemu, basa basi lah saja, dan bersikap formal. Hanya jangan lupa juga, kita harus memenuhi semua kewajiban tugas tugas sebagai pegawai sesuai job nya.
Menjadi kuat memerlukan bahan bakar. Di lingkungan kerja toxic, tidah mudah menjadi kuat. Selalu saja ada yang mencoba menyerang dan membuat kita lemah. Ada saja. Resep saya ada 2, yaitu apa yang akan saya lakukan dan siapa yang ada di belakang saya. Yang akan saya lakukan adalah namanya kebaikan. Dan yang ada di belakang saya, saya orang beragama, Katholik agama saya, adalah dan semua, apapun itu, yang memberikan kebaikan, yaitu Yesus dan sederetan Santo Santa serta malaikat yang siap bertempur mati matian dengan saya untuk menghajar si pembawa bukan kebaikan. Libas habis. Maka saya sekalipun tidak akan mengedipkan mata saya untuk menghadangnya.
Maka rawe rawe rantas malang malang putung, minggir semua, tidak mau minggir, hancur. Maka sesi curhat sahabat saya tadi berakhir dengan linangan air mata, dan tepukan hangat saya di pundaknya. Yang pada akhirnya ia, sahabat saya tadi, berucap, "mau ditraktir bakso di mana?"
Saya mengangguk dan tersenyum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H