Tak dapat dipungkiri bahwa realitas demokrasi dan praksis perpolitikan di negara ini selalu saja larut dalam polemik dan kegaduhan berkepanjangan. Banyak fakta dapat dijadikan contoh. Kader atau calon yang berkompetisi di berbagai tingkat pemilihan memiliki kecenderungan ini, yakni melahirkan polemik dan kegaduhan. Secara kasat mata biasanya dilakukan oleh kader atau calon dari partai yang mengalami kekalahan.
Polemik dan kegaduhan yang terjadi biasanya berkepanjangan. Bahkan dapat pula menggunakan segala cara yang tidak terpuji untuk membuktikan bahwa diri atau partainya telah di-zolimi atau dicurangi, melalui pembuktian yang terkadang tak logis dan tak terukur secara rasional.
Pada kenyataannya proses ini juga menghabiskan banyak materi dan energi. Media-media juga memiliki peran negatif melalui pemberitaan yang cenderung boombastis sehingga publik larut dan tergiring dalam persoalan yang ada, tanpa juga memiliki kemampuan untuk mencerna informasi secara benar dan tepat.
Realitas ini menggugah penyadaran berdemokrasi dan berpolitik secara cerdas. Tanpa kecerdasan berdemokrasi dan berpolitik, kiranya praksis demokrasi dan politik di negara ini akan tetap berjalan di tempat karena akan terpola dalam cara pikir dan cara laku yang sama, sekali lagi tanpa kemampuan memahami realitas secara tepat dan benar.
Harus disadari bahwa realitas berkompetisi mengharuskan ada pihak yang menang dan ada pula pihak yang kalah. Tidak mungkin semua pihak yang berkompetisi akan menang atau kalah secara bersamaan. Satu pihak harus keluar sebagai pemenang dan pihak lain pasti akan kalah pada akhir dari sebuah kompetisi.
Sebuah kompetisi mengharuskan kesiapan budi dan hati untuk menang dan kalah. Selanjutnya pihak yang menang harus dengan bijak dan santun untuk memberikan rasa hormat kepada pihak yang kalah supaya tidak meninggalkan kesan merendahkan atau menghina pihak yang kalah. Kesiapan yang lebih pasti dari sebuah kemenangan adalah kemampuan untuk merumuskan semua janji politik secara tepat dan tajam. Tugasnya yang baru bukan lagi berkompetisi tetapi membuktikan kemenangannya dalam kerja-kerja politik bagi masyarakat menurut visi dan misinya.
Pada aspek lain berlaku pula untuk pihak yang kalah. Kekalahan dalam sebuah kompetisi harus juga disadari sebagai sebuah keniscayaan. Berbagai hal yang telah dilakukan dengan tepat dan benar sekalipun bisa saja terbentur faktor X, sehingga bisa berujung pada kekalahan. Ketidaksiapan untuk menerima kekalahan akan berdampak pada kesehatan mental dan fisik bila tidak dipersiapkan dengan baik.
Atau pada sisi lain akan berujung pada upaya mencari-cari alasan untuk menutupi kekalahan dalam kompetisi politik. Pada aspek ini segala cara dapat ditempuh untuk menyalahkan pihak lain, sehingga dapat menghabiskan banyak energi, waktu, dan materi tanpa ada niat dan kesediaan untuk belajar memperbaiki kesalahan yang menyebabkan kekalahan.
Sejatinya tidak perlu mengambil tindakan sensasional untuk menarik simpati publik yang pada kenyataannya sebatas tindakan emosional belaka. Setiap kesalahan harus mampu mengajarkan kita untuk berbenah, termasuk dalam kompetisi politik sekalipun.
Pada akhirnya saya ingin mengajak siapa saja yang memiliki minat dalam dunia politik untuk belajar berdemokrasi dan berpolitik secara benar. Perlu kiranya belajar berdemokrasi dan berpolitik dari negara-negara lain. Mereka pada kenyataannya telah siap kalah. Kekalahan akan diterima dengan legowo sehingga ada ketulusan hati untuk memberikan apresiasi kepada pihak yang menang.
Jika telah tiba saatnya, seluruh energi, waktu, dan materi akan digunakan untuk mengevaluasi diri , sebaliknya pihak yang menang dapat pula menggunakannya untuk kemajuan dan kebaikan bersama, karena perhatian tidak terbagi dan terganggu oleh pihak yang kalah, yang merasa dirinya dirugikan.
Sebagai bangsa yang besar, layaknya perhatian tertuju kepada kepentingan dan kebaikan bersama. Ini akan terjadi jika kita sudah cerdas dan bijak berdemokrasi dan berpolitik, karena muara dari keduanya adalah kebaikan bersama, tetapi bukan kepentingan dan ambisi pribadi.
Jabatan-jabatan publik adalah amanat politis yang diberikan masyarakat kepada mereka yang dipercaya mampu mengembannya secara bertanggung jawab. Demikian, tidak dibenarkan jika amanat ini seolah dipaksakan dengan segala macam cara agar memenangkan kepentingan dan ambisi pribadi.
Semoga pada akhirnya bangsa ini semakin cerdas berdemokrasi dan bijak berpolitik demi kepentingan dan kebaikan bersama, tetapi bukan mengejar dan memenuhi kepentingan dan ambisi pribadi. Kita berharap agar geliat demokrasi dan percaturan politik akan menjadi lebih baik ke depannya demi Indonesia yang lebih maju dan berintegritas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H