Mohon tunggu...
Andreas Neke
Andreas Neke Mohon Tunggu... Guru - Pegiat media sosial

Andreas Neke lahir di Sobo (Mangulewa) pada 08/03/80. Pendidikan Dasar di SDI Waruwaja. Pendidikan Menengah di SMPN 2 Bajawa dan SMAN Bajawa. Selanjutnya ke Seminari KPA St. Paulus Mataloko (2 tahun) , dan Pendidikan Calon Imam Kapusin (OFM Cap) di Sibolga (1 tahun), Parapat (1 tahun) , Nias (1 tahun), STFT St. Yohanes Pematangsiantar (4 tahun), TOP di Paroki St. Fransiskus Xaverius Ndondo (10 bulan), serta Pasca Sarjana (2 tahun). Pernah mengajar di SMA St. Clemens Boawae (2010-2017). Saat ini mengajar di SMK Sanjaya Bajawa. Aktif menulis opini di HU Flores Pos. Sudah menulis 2 buah buku yang berjudul REMAJA DAN PERGUMULAN JATI DIRINYA dan IMAN YANG MEMBUMI. Tinggal di Padhawoli, Kel. Trikora, Bajawa, Flores, NTT.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pesta Reba dan Unitas yang Dirindukan

15 Januari 2025   07:30 Diperbarui: 15 Januari 2025   13:40 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang anak dalam balutan pakaian adat Bajawa dengan latar belakang sa'o (Dok. Pribadi)

Salah satu keunikan masyarakat Ngada (Bajawa, Flores, Nusa Tenggara Timur) yang menjadi ciri khasnya adalah pesta Reba. Pesta ini merupakan pesta terbesar, yang biasanya berlangsung antara bulan Desember sampai Maret. Berdasarkan perhitungan bulan oleh masing-masing wilayah hukum adat yang meliputi wilayah hukum adat Mangulewa, Jerebu'u, Ngada Bawa, Wogo, Gisi, Wolokuru, Doka, Aimere, dan Naru. Masing-masing hukum adat akan merayakannya secara terpisah menurut perhitungan bulan dan kebiasaan masing-masing.

Biasanya tiap-tiap hukum adat memiliki kekhasan tersendiri dalam merayakannya. Namun demikian, secara garis besar terdapat kesamaan yang terkandung di dalamnya. 

Kesamaan tersebut antara lain bahwa pesta Reba merupakan ungkapan syukur kepada Tuhan dan leluhur, perwujudan persatuan dan perdamaian, penghormatan terhadap alam, napak tilas dan estafet pewarisan kebudayaan. Juga merupakan pesta seni melalui pesta tandak, yang di dalamnya masing-masing orang dapat menunjukkan suaranya yang menawan melalui perumpamaan dan kritik dalam syair-syair yang dinyanyikan.

Tanpa mengabaikan makna lainnya, fokus tulisan ini adalah pesta Reba sebagai perwujudan kesatuan dan persaudaraan (unitas), mengingat dewasa ini konflik dan kekerasan kerap terjadi dalam masyarakat yang terkenal ramah dan cinta damai ini.

Pesta Reba merupakan perayaan persatuan. Ini akan tampak jelas dalam mana masing-masing anggota keluarga yang berada dalam satu rumah adat (sa'o pu'u) akan berkumpul dan merayakan kesatuan mereka. Sedapat mungkin semua anggota keluarga diaspora berupaya pulang untuk merayakannya dalam pesta tahun baru yang dirayakan setahun sekali ini.

Momen Reba merupakan pesta reuni, tetapi bukan sekadar reunian biasa atau sekedar temu kangen semata. Di dalamnya terkandung makna mendalam untuk mensyukuri secara bersama kebaikan Allah melalui anugerah alam dan leluhur serta merayakan dan mengestafetkan kebijaksanaan leluhur kepada generasi yang masih hidup sekarang ini.

Seorang anak dalam balutan pakaian adat Bajawa dengan latar belakang sa'o (Dok. Pribadi)
Seorang anak dalam balutan pakaian adat Bajawa dengan latar belakang sa'o (Dok. Pribadi)

Ada empat hal yang hendak diuraikan dalam hubungannya dengan pesta Reba sebagai perwujudan kesatuan dan persaudaraan. 

Pertama, pesta Reba sebagai gerakan kembali ke rumah (back home). Pesta Reba sebagai gerakan kembali ke rumah  merupakan momen penting untuk mengetahui semua anggota keluarga, dalam mana masing-masing akan bertemu satu sama lain baik karena kelahiran baru maupun karena perkawinan.

Pesta Reba sebagai gerakan kembali ke rumah juga menjadi momen bagi semua anggota keluarga untuk mengetahui kedudukan rumah pokok dan leluhur serta ajaran kebijaksanaannya. 

Biasanya ini menjadi momen untuk menyejarahkan kembali asal usul keluarga sejak awal hingga keadaan yang terkini. Mereka yang belum mengetahui akan dengan cermat bertanya dan mendengarkan dari anggota keluarga yang lebih tahu, terutama oleh mereka yang bertanggung jawab atas seluruh anggota dalam rumah pokok tersebut.

Kedua, pesta Reba sebagai perwujudan harmoni melalui penyelesaian konflik dan kekerasan yang terjadi. Konflik dan kekerasan yang terjadi biasanya berkaitan dengan pembagian warisan yang dirasa tidak adil atau juga penyelewengan atasnya. Juga menyangkut konflik antar klan, antar sa'o (rumah adat), dan konflik-konflik lain yang menyebabkan dendam membara.

Momen ini menjadi momen purifikasi batin, dalam mana masing-masing pihak akan mengutarakan isi hatinya dengan jujur, menyampaikan permohonan maaf, dan memperbaiki kesalahan. Biasanya pihak yang salah akan mendapatkan denda. Denda merupakan silih atas kesalahan yang telah dibuat agar tidak mengulanginya di masa mendatang.

Namun demikian, momen ini biasanya tidak dengan serta merta dapat menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada. Patut disayangkan bahwa momen berharga ini tidak digunakan dengan baik sebagai momen rekonsiliasi sehingga harus berlanjut ke urusan hukum sipil.

Ini seolah menyimpang dari ajaran leluhur yang mengatakan "naji le mazi, wuku le punu, gege meta pene", yang arti umumnya adalah kemarahan harus diungkapkan lewat pembicaraan yang baik dan sebatas pintu saja agar tidak diketahui orang lain. Di dalamnya terkandung maksud bahwa pesta Reba dan sa'o menjadi momen dan tempat yang ideal untuk menyelesaikan persoalan dalam nada kasih dan persaudaraan.

Ketiga, pesta Reba sebagai pesta cinta. Pesta Reba sebagai pesta cinta terwujud dalam tindakan peminangan karena semua anggota keluarga sedang hadir secara bersama, dan serentak dengan itu dapat pula mengetahui calon suami dari anggota keluarga mereka. 

Kiranya amat beralasan mengingat waktu lain akan sulit untuk mengumpulkan anggota keluarga yang jauh dan terikat dengan kesibukannya masing-masing. Ini menjadi momen yang tepat untuk perwujudan cinta bagi anggota keluarga yang baru.

Keempat, pesta Reba sebagai pembebasan dari segala utang piutang. Ini tidak hendak mengatakan pembebasan dan pelepasan dari persoalan utang piutang. Tetapi lebih dari itu, menjadi momen perwujudan kasih persaudaraan, dalam mana utang dibayarkan atau sebaliknya menjanjikan kesempatan untuk pelunasannya sesuai dengan waktu yang akan dibicarakan bersama oleh kedua belah pihak.

Ini untuk menjaga tali kasih dan persaudaraan. Utang piutang tidak boleh menjadi sekat yang memisahkan kedua belah pihak, tetapi sarana yang seharusnya mempersatukan keduanya. Nilai kemanusiaan lebih tinggi dari utang piutang antara keduanya sehingga pelunasan dan pembicaraan lanjutan akan terjadi pada momen persaudaraan ini.

Di atas segalanya, saya ingin kembali mengingatkan bahwa masyarakat Ngada adalah masyarakat yang terkenal ramah dan cinta damai. Ini sudah diwariskan oleh para leluhur melalui kebijaksanaan pengajaran dan peri hidup mereka.

Lebih dari itu, masyarakat Ngada juga memiliki waktu dan tempat khusus untuk berbicara dan menyelesaikan segala persoalan bersama. Waktu dan tempat itu adalah pesta Reba dan sa'o. Kiranya momen dan tempat ini menjadi dua sarana efektif untuk berbicara dari hati ke hati dengan penuh rasa cinta dan persaudaraan tanpa topeng dan kepalsuan agar persoalan dapat diatasi.

Aneh rasanya dalam momen dan tempat istimewa ini ada kepalsuan dan kepura-puraan. Nasi dan daging dapat dimakan, moke (tuak) dapat diminum, nyanyian dapat dilantunkan dengan merdu, tetapi di dalamnya tersirat dendam untuk melanjutkan permusuhan melalui cara-cara yang tidak terpuji, bahkan melalui jalur hukum sipil yang memakan banyak waktu dan energi.

Sudah saatnya kembali ke ajaran dan pola hidup bijak leluhur agar menggunakan momen Reba secara tepat dan bijak pula. Semuanya akan terwujud bila masing-masing pihak dapat kembali ke ajaran pokok leluhur masyarakat Ngada yang terkenal ramah dan cinta damai.

Kiranya pesta Reba tidak sekedar menjadi pesta tahun baru yang berbau sekular, tetapi lebih dari itu untuk kembali ke ajaran pokok kehidupan para leluhur, agar kemudian terwujud kehidupan bersama dalam sa'o, klan, dan sub klan yang harmonis satu sama lain. Intinya adalah kesatuan dan persaudaraan, serta cinta dan belas kasih antara manusia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun