Aneh rasanya dalam momen dan tempat istimewa ini ada kepalsuan dan kepura-puraan. Nasi dan daging dapat dimakan, moke (tuak) dapat diminum, nyanyian dapat dilantunkan dengan merdu, tetapi di dalamnya tersirat dendam untuk melanjutkan permusuhan melalui cara-cara yang tidak terpuji, bahkan melalui jalur hukum sipil yang memakan banyak waktu dan energi.
Sudah saatnya kembali ke ajaran dan pola hidup bijak leluhur agar menggunakan momen Reba secara tepat dan bijak pula. Semuanya akan terwujud bila masing-masing pihak dapat kembali ke ajaran pokok leluhur masyarakat Ngada yang terkenal ramah dan cinta damai.
Kiranya pesta Reba tidak sekedar menjadi pesta tahun baru yang berbau sekular, tetapi lebih dari itu untuk kembali ke ajaran pokok kehidupan para leluhur, agar kemudian terwujud kehidupan bersama dalam sa'o, klan, dan sub klan yang harmonis satu sama lain. Intinya adalah kesatuan dan persaudaraan, serta cinta dan belas kasih antara manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H