Biasanya ini menjadi momen untuk menyejarahkan kembali asal usul keluarga sejak awal hingga keadaan yang terkini. Mereka yang belum mengetahui akan dengan cermat bertanya dan mendengarkan dari anggota keluarga yang lebih tahu, terutama oleh mereka yang bertanggung jawab atas seluruh anggota dalam rumah pokok tersebut.
Kedua, pesta Reba sebagai perwujudan harmoni melalui penyelesaian konflik dan kekerasan yang terjadi. Konflik dan kekerasan yang terjadi biasanya berkaitan dengan pembagian warisan yang dirasa tidak adil atau juga penyelewengan atasnya. Juga menyangkut konflik antar klan, antar sa'o (rumah adat), dan konflik-konflik lain yang menyebabkan dendam membara.
Momen ini menjadi momen purifikasi batin, dalam mana masing-masing pihak akan mengutarakan isi hatinya dengan jujur, menyampaikan permohonan maaf, dan memperbaiki kesalahan. Biasanya pihak yang salah akan mendapatkan denda. Denda merupakan silih atas kesalahan yang telah dibuat agar tidak mengulanginya di masa mendatang.
Namun demikian, momen ini biasanya tidak dengan serta merta dapat menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada. Patut disayangkan bahwa momen berharga ini tidak digunakan dengan baik sebagai momen rekonsiliasi sehingga harus berlanjut ke urusan hukum sipil.
Ini seolah menyimpang dari ajaran leluhur yang mengatakan "naji le mazi, wuku le punu, gege meta pene", yang arti umumnya adalah kemarahan harus diungkapkan lewat pembicaraan yang baik dan sebatas pintu saja agar tidak diketahui orang lain. Di dalamnya terkandung maksud bahwa pesta Reba dan sa'o menjadi momen dan tempat yang ideal untuk menyelesaikan persoalan dalam nada kasih dan persaudaraan.
Ketiga, pesta Reba sebagai pesta cinta. Pesta Reba sebagai pesta cinta terwujud dalam tindakan peminangan karena semua anggota keluarga sedang hadir secara bersama, dan serentak dengan itu dapat pula mengetahui calon suami dari anggota keluarga mereka.Â
Kiranya amat beralasan mengingat waktu lain akan sulit untuk mengumpulkan anggota keluarga yang jauh dan terikat dengan kesibukannya masing-masing. Ini menjadi momen yang tepat untuk perwujudan cinta bagi anggota keluarga yang baru.
Keempat, pesta Reba sebagai pembebasan dari segala utang piutang. Ini tidak hendak mengatakan pembebasan dan pelepasan dari persoalan utang piutang. Tetapi lebih dari itu, menjadi momen perwujudan kasih persaudaraan, dalam mana utang dibayarkan atau sebaliknya menjanjikan kesempatan untuk pelunasannya sesuai dengan waktu yang akan dibicarakan bersama oleh kedua belah pihak.
Ini untuk menjaga tali kasih dan persaudaraan. Utang piutang tidak boleh menjadi sekat yang memisahkan kedua belah pihak, tetapi sarana yang seharusnya mempersatukan keduanya. Nilai kemanusiaan lebih tinggi dari utang piutang antara keduanya sehingga pelunasan dan pembicaraan lanjutan akan terjadi pada momen persaudaraan ini.
Di atas segalanya, saya ingin kembali mengingatkan bahwa masyarakat Ngada adalah masyarakat yang terkenal ramah dan cinta damai. Ini sudah diwariskan oleh para leluhur melalui kebijaksanaan pengajaran dan peri hidup mereka.
Lebih dari itu, masyarakat Ngada juga memiliki waktu dan tempat khusus untuk berbicara dan menyelesaikan segala persoalan bersama. Waktu dan tempat itu adalah pesta Reba dan sa'o. Kiranya momen dan tempat ini menjadi dua sarana efektif untuk berbicara dari hati ke hati dengan penuh rasa cinta dan persaudaraan tanpa topeng dan kepalsuan agar persoalan dapat diatasi.