Mohon tunggu...
Andreas Neke
Andreas Neke Mohon Tunggu... Guru - Pegiat media sosial

Andreas Neke lahir di Sobo (Mangulewa) pada 08/03/80. Pendidikan Dasar di SDI Waruwaja. Pendidikan Menengah di SMPN 2 Bajawa dan SMAN Bajawa. Selanjutnya ke Seminari KPA St. Paulus Mataloko (2 tahun) , dan Pendidikan Calon Imam Kapusin (OFM Cap) di Sibolga (1 tahun), Parapat (1 tahun) , Nias (1 tahun), STFT St. Yohanes Pematangsiantar (4 tahun), TOP di Paroki St. Fransiskus Xaverius Ndondo (10 bulan), serta Pasca Sarjana (2 tahun). Pernah mengajar di SMA St. Clemens Boawae (2010-2017). Saat ini mengajar di SMK Sanjaya Bajawa. Aktif menulis opini di HU Flores Pos. Sudah menulis 2 buah buku yang berjudul REMAJA DAN PERGUMULAN JATI DIRINYA dan IMAN YANG MEMBUMI. Tinggal di Padhawoli, Kel. Trikora, Bajawa, Flores, NTT.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kesombongan dan Keserakahan sebagai Awal Kehancuran

6 Agustus 2024   06:59 Diperbarui: 3 September 2024   20:36 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ruangsumberbelajar.com

Ada tiga hal berbahaya yang dapat merusak diri dan orang lain. Kerusakan yang ditimbulkan olehnya bahkan sedemikian dahsyat karena ini semua bermula dari inti diri yang bermasalah. Inti diri yang dimaksud adalah pikiran dan hati. Ini artinya bahwa masalah sesungguhnya berawal dari kepicikan pemikiran dan ketersesatan hati.

Dan jelasnya kepicikan pemikiran dan ketersesatan hati telah menjadi biang kehancuran diri sendiri dan orang lain di sekitarnya. Apalagi ini melekat dalam diri orang-orang yang memiliki jabatan-jabatan penting yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Yang artinya bahwa bahaya yang dihasilkan akan berdampak sangat buruk terhadap seberapa banyak orang yang melekat atas jabatan orang-orang "sakit" tersebut.

Pada awalnya harus dipahami secara benar bahwa pemikiran yang lurus dan hati nurani yang bersih menjadi acuan dasar pertimbangan moral. Yang dimaksud adalah bahwa dalam pemikiran yang jernih dan hati nurani yang bersih menjadi landasan awal pertimbangan untuk mengarahkan diri kepada kepentingan dan kebaikan diri dan orang lain. Tanpa adanya dua hal ini, maka hal yang dihasilkan olehnya adalah kesenangan pribadi (bukan kebahagiaan) dan penderitaan/kemalangan bagi orang di sekitarnya.

Ketiga hal yang menjadi biang kehancuran yang dimaksud adalah kesombongan, keserakahan, dan iri hati/dengki. Dan, fokus refleksi kali ini adalah kesombongan dan keserakahan.

Kesombongan dan Arogansi

Kesombongan telah menjadi awal terusirnya Adam dan Hawa dari Firdaus. Keterusiran ini terjadi bukan karena keduanya memakan buah terlarang, tetapi terutama karena "kesombongan" yakni ketidakmauan untuk tunduk dan patuh pada kehendak Sang Pencipta. Dan pada kenyataannya bahwa kesombongan ini juga telah menjadi awal kehancuran peradaban manusia. Kesombongan telah menjadikan Hitler seorang diktator. Juga praktek apartheid di Afrika dan penjajahan di muka bumi.

Kesombongan biasanya akan muncul dalam banyak bentuk seperti merasa diri lebih penting, lebih tahu, lebih benar, lebih baik, dan lebih yang lainnya dari pada orang lain. Ini pada akhirnya telah membuat seseorang menutup telinga, pikiran, dan hati kepada orang lain.

Seseorang yang merasa dirinya penting biasanya menjadi tak penting untuk mendengarkan orang lain. Padahal untuk mencapai sebuah kebenaran sejati, seseorang harus dan secara terus-menerus membuka telinga, pikiran, dan hati kepada sebanyak mungkin gagasan dan pendapat, karena mendengarkan adalah awal kebenaran dari sebuah pengetahuan.

Kesombongan juga berakar dari kebiasaan membandingkan (comparing) diri sendiri dengan orang lain. Seseorang akan merasa superior bila berhadapan dengan orang lain yang dirasa levelnya lebih  rendah bila dibandingkan dengan dirinya sendiri. Padahal perasaan superioritas ini merupakan "perasaan" pribadi, tetapi bukan "perasaan" orang lain.

Yang seharusnya bahwa pembanding yang baik dan benar adalah diri sendiri, bukan orang lain. Ini artinya bahwa perbandingan yang sejajar harusnya bermula dari dalam diri sendiri dengan segala potensi diri, dan berhadapan dengan realitas pemikiran diri sendiri secara benar, jernih, dan lurus.

Ini akan menjadi landasan bagaimana seseorang seharusnya berhadapan dengan orang lain. Perbandingan yang sejati harus terarah kepada realitas "pertemuan" dan "perjumpaan" dengan orang lain. Semuanya harus diarahkan pada kebenaran dan kebaikan bersama, yang pada akhirnya melahirkan kebahagiaan, tetapi bukan kesenangan pribadi. Kebahagiaan pada hakekatnya tidak mencederai/melukai orang lain, tetapi kesenangan merupakan bentuk lain dari kelainan psikologis yakni psikopat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun