pikiran dan hati. Ini artinya bahwa masalah sesungguhnya berawal dari kepicikan pemikiran dan ketersesatan hati.
Ada tiga hal berbahaya yang dapat merusak diri dan orang lain. Kerusakan yang ditimbulkan olehnya bahkan sedemikian dahsyat karena ini semua bermula dari inti diri yang bermasalah. Inti diri yang dimaksud adalahDan jelasnya kepicikan pemikiran dan ketersesatan hati telah menjadi biang kehancuran diri sendiri dan orang lain di sekitarnya. Apalagi ini melekat dalam diri orang-orang yang memiliki jabatan-jabatan penting yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Yang artinya bahwa bahaya yang dihasilkan akan berdampak sangat buruk terhadap seberapa banyak orang yang melekat atas jabatan orang-orang "sakit" tersebut.
Pada awalnya harus dipahami secara benar bahwa pemikiran yang lurus dan hati nurani yang bersih menjadi acuan dasar pertimbangan moral. Yang dimaksud adalah bahwa dalam pemikiran yang jernih dan hati nurani yang bersih menjadi landasan awal pertimbangan untuk mengarahkan diri kepada kepentingan dan kebaikan diri dan orang lain. Tanpa adanya dua hal ini, maka hal yang dihasilkan olehnya adalah kesenangan pribadi (bukan kebahagiaan) dan penderitaan/kemalangan bagi orang di sekitarnya.
Ketiga hal yang menjadi biang kehancuran yang dimaksud adalah kesombongan, keserakahan, dan iri hati/dengki. Dan, fokus refleksi kali ini adalah kesombongan dan keserakahan.
Kesombongan dan Arogansi
Kesombongan telah menjadi awal terusirnya Adam dan Hawa dari Firdaus. Keterusiran ini terjadi bukan karena keduanya memakan buah terlarang, tetapi terutama karena "kesombongan" yakni ketidakmauan untuk tunduk dan patuh pada kehendak Sang Pencipta. Dan pada kenyataannya bahwa kesombongan ini juga telah menjadi awal kehancuran peradaban manusia. Kesombongan telah menjadikan Hitler seorang diktator. Juga praktek apartheid di Afrika dan penjajahan di muka bumi.
Kesombongan biasanya akan muncul dalam banyak bentuk seperti merasa diri lebih penting, lebih tahu, lebih benar, lebih baik, dan lebih yang lainnya dari pada orang lain. Ini pada akhirnya telah membuat seseorang menutup telinga, pikiran, dan hati kepada orang lain.
Seseorang yang merasa dirinya penting biasanya menjadi tak penting untuk mendengarkan orang lain. Padahal untuk mencapai sebuah kebenaran sejati, seseorang harus dan secara terus-menerus membuka telinga, pikiran, dan hati kepada sebanyak mungkin gagasan dan pendapat, karena mendengarkan adalah awal kebenaran dari sebuah pengetahuan.
Kesombongan juga berakar dari kebiasaan membandingkan (comparing) diri sendiri dengan orang lain. Seseorang akan merasa superior bila berhadapan dengan orang lain yang dirasa levelnya lebih  rendah bila dibandingkan dengan dirinya sendiri. Padahal perasaan superioritas ini merupakan "perasaan" pribadi, tetapi bukan "perasaan" orang lain.
Yang seharusnya bahwa pembanding yang baik dan benar adalah diri sendiri, bukan orang lain. Ini artinya bahwa perbandingan yang sejajar harusnya bermula dari dalam diri sendiri dengan segala potensi diri, dan berhadapan dengan realitas pemikiran diri sendiri secara benar, jernih, dan lurus.
Ini akan menjadi landasan bagaimana seseorang seharusnya berhadapan dengan orang lain. Perbandingan yang sejati harus terarah kepada realitas "pertemuan" dan "perjumpaan" dengan orang lain. Semuanya harus diarahkan pada kebenaran dan kebaikan bersama, yang pada akhirnya melahirkan kebahagiaan, tetapi bukan kesenangan pribadi. Kebahagiaan pada hakekatnya tidak mencederai/melukai orang lain, tetapi kesenangan merupakan bentuk lain dari kelainan psikologis yakni psikopat.
Sama seperti kesombongan, keserakahan merupakan biang diusirnya Adam dan Hawa dari Firdaus. Keserakahan berakar dari mentalitas kelangkaan (scarcity mentality). Arti dari mentalitas kelangkaan yaitu perasaan bahwa segala sesuatu sangat terbatas karena itu seseorang harus mengambilnya terlebih dahulu sebelum kehabisan.
Orang serakah menganggap bahwa segala sesuatu itu layaknya sepotong kue. Yang berarti bahwa kalau seseorang telah mendapatkan potongan besar, maka yang tertinggal adalah potongan kecil. Supaya saya tidak mendapatkan potongan kecil, maka harus mengambil terlebih dahulu sebelum orang lain mengambilnya.
Pada kenyataannya, beragam persoalan yang mencederai dan melukai kehidupan orang banyak, termasuk bangsa ini, adalah keserakahan. Keserakahan telah membuat seseorang ingin menguasai dan hilangnya kehendak baik untuk berbagi dengan orang lain.
Hal yang sama menyangkut jabatan-jabatan yang bertalian dengan kehidupan orang banyak. Kebanyakan orang mau menguasainya dengan berbagai cara, termasuk menghalalkan segala cara, untuk "memperoleh", tetapi bukan untuk "berbagi". Padahal prinsip sederhananya adalah kalau orang lain bisa/mampu, mengapa harus saya?
Tetapi karena berakar dari keserakahan, banyak orang telah berlomba-lomba untuk memperoleh dengan memperebutkan "jatah kue" walau harus membuat orang lain ketiadaan makanan, yang berarti juga telah membuat orang lain mati secara perlahan-lahan.
Pada akhirnya sebuah refleksi sederhana atas kesombongan/arogansi dan keserakahan sejatinya menyadarkan setiap orang agar selalu terbuka kepada realitas kebenaran, yang bersumber dari keterbukaan pikiran dan hati. Tanpa adanya keterbukaan ini, maka praksis kesombongan dan keserakahan akan tetap nyata, yang berarti nyata pula penderitaan dan kemalangan bagi orang lain, atau kesenangan bagi diri sendiri yang berujung kesengsaraan bagi orang lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H