Mohon tunggu...
Andreas Neke
Andreas Neke Mohon Tunggu... Guru - Pegiat media sosial

Andreas Neke lahir di Sobo (Mangulewa) pada 08/03/80. Pendidikan Dasar di SDI Waruwaja. Pendidikan Menengah di SMPN 2 Bajawa dan SMAN Bajawa. Selanjutnya ke Seminari KPA St. Paulus Mataloko (2 tahun) , dan Pendidikan Calon Imam Kapusin (OFM Cap) di Sibolga (1 tahun), Parapat (1 tahun) , Nias (1 tahun), STFT St. Yohanes Pematangsiantar (4 tahun), TOP di Paroki St. Fransiskus Xaverius Ndondo (10 bulan), serta Pasca Sarjana (2 tahun). Pernah mengajar di SMA St. Clemens Boawae (2010-2017). Saat ini mengajar di SMK Sanjaya Bajawa. Aktif menulis opini di HU Flores Pos. Sudah menulis 2 buah buku yang berjudul REMAJA DAN PERGUMULAN JATI DIRINYA dan IMAN YANG MEMBUMI. Tinggal di Padhawoli, Kel. Trikora, Bajawa, Flores, NTT.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kesombongan dan Keserakahan sebagai Awal Kehancuran

6 Agustus 2024   06:59 Diperbarui: 3 September 2024   20:36 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ruangsumberbelajar.com

Keserakahan

Sama seperti kesombongan, keserakahan merupakan biang diusirnya Adam dan Hawa dari Firdaus. Keserakahan berakar dari mentalitas kelangkaan (scarcity mentality). Arti dari mentalitas kelangkaan yaitu perasaan bahwa segala sesuatu sangat terbatas karena itu seseorang harus mengambilnya terlebih dahulu sebelum kehabisan.

Orang serakah menganggap bahwa segala sesuatu itu layaknya sepotong kue. Yang berarti bahwa kalau seseorang telah mendapatkan potongan besar, maka yang tertinggal adalah potongan kecil. Supaya saya tidak mendapatkan potongan kecil, maka harus mengambil terlebih dahulu sebelum orang lain mengambilnya.

Pada kenyataannya, beragam persoalan yang mencederai dan melukai kehidupan orang banyak, termasuk bangsa ini, adalah keserakahan. Keserakahan telah membuat seseorang ingin menguasai dan hilangnya kehendak baik untuk berbagi dengan orang lain.

Hal yang sama menyangkut jabatan-jabatan yang bertalian dengan kehidupan orang banyak. Kebanyakan orang mau menguasainya dengan berbagai cara, termasuk menghalalkan segala cara, untuk "memperoleh", tetapi bukan untuk "berbagi". Padahal prinsip sederhananya adalah kalau orang lain bisa/mampu, mengapa harus saya?

Tetapi karena berakar dari keserakahan, banyak orang telah berlomba-lomba untuk memperoleh dengan memperebutkan "jatah kue" walau harus membuat orang lain ketiadaan makanan, yang berarti juga telah membuat orang lain mati secara perlahan-lahan.

Pada akhirnya sebuah refleksi sederhana atas kesombongan/arogansi dan keserakahan sejatinya menyadarkan setiap orang agar selalu terbuka kepada realitas kebenaran, yang bersumber dari keterbukaan pikiran dan hati. Tanpa adanya keterbukaan ini, maka praksis kesombongan dan keserakahan akan tetap nyata, yang berarti nyata pula penderitaan dan kemalangan bagi orang lain, atau kesenangan bagi diri sendiri yang berujung kesengsaraan bagi orang lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun