Â
5. 5 Tanggung Jawab Dokter
Dokter bertanggung jawab mengadakan diagnosa dan memilih atau menentukan obat-obat untuk kepentingan pasien serta memberi informasi yang perlu agar obat itu dipergunakan dengan baik.[13]
5. 6 Tanggung Jawab Konsumen/Pemakai Sendiri
Selain memiliki hak untuk mendapatkan obat yang perlu, konsumen juga berhak menolak obat yang termasuk sarana luar biasa, tetapi mempunyai kewajiban memakai obat-obatan yang merupakan sarana luar biasa.[14]
6. Penilaian Moral Pemakaian Obat
Selain penilaian moral secara umum terhadap obat-obatan, efek samping dan pengaruh buruk lainnya juga perlu diperhatikan. Dua hal ini tak lepas dari usaha untuk menggunakan obat-obatan secara benar dan hati-hati. Harus jelas dipahami bahwa penggunaan setiap obat selalu terkandung bahaya karena sebagian obat jauh lebih berbahaya dari obat lainnya.
6. 1 Penilaian Moral Pemakaian Obat dan Efek Sampingnya
Terhadap efek samping obat dapat diterapkan prinsip satu perbuatan dengan akibat ganda. Prinsip ini harus dilengkapi dengan keterangan: optimal dalam situasi, artinya prinsip itu harus ditafsirkan secara dinamis untuk tidak puas dengan status quo, melainkan sambil memakai apa yang ada (optimal dalam situasi) sambil mencari pemecahan yang lebih baik.[15]
Yang dimaksud dengan optimal di sini berarti bahwa manusia telah berusaha sekuat tenaga untuk menolong sambil meredusir efek samping sekecil mungkin. Sedangkan dalam situasi berarti bahwa manusia terbatas dalam arti yang sangat luas, sehingga perlu dicegah sikap perfeksionistis yang dapat melumpuhkan (karena tidak bersedia memakai apa yang ada dan selalu menunggu sarana yang lebih baik) sehingga orang tidak berbuat apa-apa. Sesungguhnya dengan kesediaan memakai apa yang ada, yang optimal dalam situasi itu, secara moral akan dapat menghindarkan keresahan hati. Dengan ini kita diharapkan mampu melakukan sesuatu yang optimal dari apa yang terbatas.[16]
6. 2 Penilaian Moral Pemakaian Obat dan Pengaruh Buruk Lainnya
Penilaian moral yang dimaksudkan di sini berbeda dengan efek samping di atas. Pengaruh buruk ini lebih pada penggunaan yang salah dan penyalahgunaan atas obat. Penggunaan yang salah timbul karena ketidaktahuan, mungkin karena kurang informasi atau pengaruh media iklan yang menyesatkan atau kurang teliti, terlalu ceroboh dan kurang bertanggung jawab. Sedangkan penyalahgunaan obat merupakan tindakan yang disadari tidak sesuai dengan peraturan pemakaian atau tujuan obat, dengan motif tertentu. Misalnya, obat-obatan yang digunakan untuk mempengaruhi susunan syaraf menjadi penawar nyeri (candu, morfin, heroin)[17], memacu susunan syaraf untuk tidak tidur (kokain) atau obat tidur (valium) dan lain sebagainya.[18]
7. Psikofarmaka
7.1 Pengertian
Psikofarmaka merupakan sebutan ringkas untuk berbagai zat atau obat natura atau sintetis yang mempengaruhi saraf sentral (fungsi-fungsi pelbagai bagian sistem saraf sentral) untuk menimbulkan efek psikis, yakni perubahan kelakuan dan perasaan. Psikofarmaka ini juga disebut psikotrop karena mempengaruhi proses psikis seperti kebutuhan, perasaan, pengamatan dan lain sebagainya.[19]
7. 2 Khasiat Psikofarmaka[20]
- Kelompok neuroleptika. Khasiatnya tergantung pada ciri-ciri kepribadian orang dan pada umumnya mengurangi keadaan takut, halusinasi, khayalan. Penggunaannya sering disertai dengan berkurangnya prestasi.
- Kelompok tranquilizer. Dalam dosis yang rendah atau sedang akan meningkatkan prestasi orang yang perasaannya agak labil, juga dapat menenangkan orang dalam keadaan stres.
- Kelompok hiponotika. Khasiatnya untuk melelahkan dan menidurkan dengan bahaya penyalahgunaan, ketagihan, merasa kurang beristirahat dan sebagainya.
- Kelompok thymoanaleptika. Khasiatnya untuk menyemangati, memacu.
- Kelompok stimulantia. Khasiatnya untuk menghidupkan, menunda tidur dan meningkatkan prestasi. Penggunaan dosis yang terlalu tinggi atau penggunaan dalam jangka waktu lama bisa menimbulkan ketagihan, tidak dapat tidur dan gemetar.
- Kelompok analeptika. Khasiatnya merangsang pernafasan dan peredaran darah juga mengendorkan kejang.
- Kelompok psychotominetika. Khasiatnya untuk menimbulkan keadaan yang menyerupai psike (halusinasi, euphoria), termasuk sarana yang memabukkan.
7. 3 Penilaian Moral Pemakaian Psikofarmaka[21]
- Hubungan antara khasiat psikofarmaka tertentu dengan faktor kepribadian. Ada akibat berlainan dari pemakaian psikofarmaka sehingga tidak bisa diramalkan secara skematis. Misalnya penggunaan tranquilizer pada orang yang satu akan mengurangi ketakutan pada saat ujian dan membuat tenang. Akan tetapi pada orang lain justru akan membuat kegelisahan dan membuyarkan konsentrasi.
- Hubungan antara khasiat psikofarmaka dan aneka situasi. Efek yang timbul dari pemakaian psikofarmaka pada situasi yang berlainan belum jelas misalnya di waktu belajar, ujian, stres dan sebagainya. Jadi khasiatnya tidak otomatis sama dalam setiap situasi.
- Efek samping yang timbul dari pemakaian dalam jangka waktu pendek dan panjang apalagi terus menerus seperti dependensi, gangguan genetik dan lain sebagainya.
- Penentuan dosis yang tepat juga belum jelas karena pelbagai psikose dan gangguan psikis yang belum jelas.
- Mekanisme cara kerja psikofarmaka juga belum jelas secara tuntas.
Dari keterangan di atas kiranya dapat disimpulkan penilaian moralnya adalah sebagai berikut:[22]
a. Pada umumnya apa yang sudah dikatakan tentang penilaian pemakaian obat-obatan juga berlaku untuk pemakaian psikofarmaka. Perbedaannya bahwa dalam hal pemakaian obat-obatan dicari khasiat fisik, sedangkan dalam pemakaian psikofarmaka yang dicari adalah khasiat psikis, meskipun lewat proses fisiologis dengan mempengaruhi sistem saraf sentral (vegetatif).
b. Dasar pembenaran pemakaian psikofarmaka adalah prinsip totalitas, yang ditafsirkan melewati taraf jasmani dan juga dikenakan pada totalitas psikis. Oleh karena itu, orang yang terlibat demi kesejahteraan totalitas manusia dari aspek psikis (bila psikisnya terganggu) asalkan menghargai terjaminnya pribadi manusia.
c. Penilaian efek samping atas pengaruh lainnya yang timbul dari pemakaian psikofarmaka hendaknya diperhatikan hak dan kewajiban memakai dan penilaian moral pemakaian dan efek sampingnya.
d. Tanggung jawab dalam pemakaian psikofarmaka diembankan pada pribadi-pribadi tertentu, karena berbagai faktor:
Konsumen/pasien mungkin berada dalam keadaan khusus, misalnya ia menderita psikis, sehingga mungkin daya penilaiannya berkurang karena berbagai faktor, sehingga juga kemampuan untuk mengambil keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan berkurang atau sangat terhambat. Dalam situasi yang demikian makin besarlah peranan dan tanggung jawab keluarga atau dokter yang memeriksanya.
Dokter atau keluarga penderita berada dalam godaan untuk mencari jalan yang paling mudah (memberikan psikofarmaka) untuk menolong si penderita, apalagi bila ia menjadi beban dan sangat mengganggu. Misalnya, orang yang mengalami depresi akan mengancam untuk bunuh diri atau orang tertentu sulit untuk dijaga terus menerus, maka ada godaan untuk memberikan psikofarmaka kepadanya.
Catatan Kaki:Â
[1] Penggunaan obat untuk maksud sosial, keagamaan atau pengobatan agaknya telah ada sejak pra-peradaban. Diduga bahwa nenek moyang kita sudah memanfaatkan tumbuhan dan substansi lain sebagai "obat", mungkin 50.000 tahun yang lalu. Di antara resep yang terekam, terdapat peninggalan dari orang Samaria. Di antara resep-resep yang masih ada, terlihat adanya penggunaan garam sampai akar-akaran, biji-bijian, kulit pohon, dan lain-lain. Terdapat juga hal-hal yang tidak masuk akal. Misalnya, orang Mesir Kuno memakai resep mengobati kebutaan melalui campuran mata babi, antimon, dan madu. Orang Mesir yang botak dianjurkan memakai campuran "... lemak singa, lemak kuda nil, lemak buaya, lemak kucing, lemak ular..." [Dr. Jan Tambayong, Farmakologi untuk Perawat (Surabaya: Airlangga, 1989), hlm. 1-2.]
[2] Robert Priharjo, Teknik Dasar Pemberian Obat bagi Perawat, (Tegal: Penerbit Buku Kedokteran, 2000), hlm. 1-3. Bdk. Aziz Alimul, Konsep Dasar Keperawatan (Tegal: Salemba Medika, 1983), hlm. 991.
[3] Aziz Alimul, Konsep ..., hlm. 998-999; bdk. Robert Priharjo, Teknik ..., hlm. 5-6; bdk. Dr. Piet Go, OCarm, Hidup dan Kesehatan (Malang: STFT Widya Sasana, 1978 ), hlm. 205-207.
[4] Dr. Piet Go, OCarm, Hidup ..., hlm. 208-210.
[5] Aziz Alimul, Konsep ..., hlm. 999.
[6] Robert Priharjo, Teknik ..., hlm. 16; bdk. Dr. Jan Tambayong, Farmakologi ..., hlm. 1-3.
[7] Aziz Alimul, Konsep ..., hlm. 993; bdk. Dr. Piet Go, OCarm, Hidup ..., hlm. 212.
[8] Aziz Alimul, Konsep ..., hlm. 1012-1013; bdk. Dr. Piet Go, OCarm, Hidup ..., hlm. 212.
[9] Aziz Alimul, Konsep ..., hlm. 992-993; bdk. Dr. Piet Go, OCarm, Hidup ..., hlm. 215-216; bdk. juga Robert Priharjo, Teknik ..., hlm. 13-15.
[10] Dr. Piet Go, OCarm, Hidup ..., hlm. 216-218.
[11] Dr. Piet Go, OCarm, Hidup ..., hlm. 218.
[12] Dr. Jan Tambayong, Farmakologi..., hlm. 1-3; bdk. Dr. Piet Go, OCarm, Hidup ..., hlm. 219-221.
[13] Dr. Piet Go, OCarm, Hidup ..., hlm. 221.
[14] Dr. Jan Tambayong, Farmakologi..., hlm. 18; bdk. Dr. Piet Go, OCarm, Hidup ..., hlm. 221.
 [15] Dr. Piet Go, OCarm, Hidup ..., hlm. 213.
[16] Dr. Piet Go, OCarm, Hidup ..., hlm. 213.
[17] Ditinjau dari sudut moral, menggunakan narkotika selalu dilarang, sebab berarti penolakan yang tidak bertanggung jawab dan tidak rasional untuk berpikir, berkehendak dan bertindak sebagai manusia bebas. Narkotika dilarang bukan berarti mengecam para pemakainya. Mereka itu mengalami "perbudakan yang berat", dan mereka harus dibebaskan dari padanya. [FX. Sumantra, Pr, Piagam bagi Pelayanan Kesehatan: Piagam Panitya Kepausan untuk Reksa Pastoral Kesehatan tentang Masalah-masalah Bio-Etika, Etika Kesehatan dan Pendampingan Orang Sakit Dikeluarkan Tahun 1995 (Judul asli: The Character for Health Care Workers) diterjemahkan oleh R. Hardawirjana, SJ (Jakarta: DOKPEN KWI, 1996), 86-87.
[18] Dr. Piet Go, OCarm, Hidup ..., hlm. 214.
[19] Dr. Piet Go, OCarm, Hidup ..., hlm. 214; bdk FX. Sumantra, Pr, Piagam..., hlm. 90.
[20] Dr. Piet Go, OCarm, Hidup ..., hlm. 223-224.
[21] Dr. Piet Go, OCarm, Hidup ..., hlm. 224-225; bdk FX. Sumantra, Pr, Piagam..., hlm. 90-91.
[22] Dr. Piet Go, OCarm, Hidup ..., hlm. 225-227.