Disadari bahwa pengawasan orang tua tidaklah mungkin berlangsung selama-lamanya. Kesadaran ini terbersit dalam ungkapan, " kami mdhu kere ne'e ulu da pia mna tolo". Ungkapan ini berarti orang tua tidak memotong lehernya dan menyimpannya di salah satu sudut rumah untuk mengawasi anak-anaknya di masa mendatang. Atau dengan perkataan lain mau mengatakan bahwa orang tua tidak hidup dan berada selamanya dengan anak-anaknya. Dengan demikian seorang anak diharapkan agar bisa mandiri dengan tetap berpegang pada pendidikan dan pengajaran orang tuanya.
Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa pendidikan dan pengajaran terhadap anak oleh orang tua sudah ditanamkan sejak dini dalam keluarga dan berlangsung setiap hari. Bentuk pendidikan dan pengajarannya jelas dalam ungkapan-ungkapan yang menghendaki agar anak mampu berperilaku baik sejak dini dari rumah/keluarganya sendiri, sehingga pada waktunya anak mampu merealisasikannya dalam keluarga yang baru, juga dalam masyarakat sebagai lingkup hidup yang lebih luas.
Keluarga Kristiani [1]
Pendasaran tentang keluarga diawali oleh gagasan bahwa keluarga merupakan gereja rumah tangga (ecclesia domestica). Keluarga merupakan sel dasar/inti masyarakat dan tempat utama humanisasi pribadi dan masyarakat. Keluarga sebagai gereja rumah tangga disebut juga "gereja domestik" atau "gereja mini". Ini erat kaitannya dengan gereja selingkungan, sestasi, separoki, sekeuskupan, dan sedunia. Relasi ini menunjukkan bahwa keluarga merupakan kelompok gereja yang paling kecil (mini), tetapi bukan yang paling rendah atau paling pinggir, tetapi sebaliknya, paling mendasar dan paling inti.
Keluarga disebut sebagai "sel dasar/inti dalam masyarakat". Sel (cellula) adalah unsur kecil yang membentuk suatu benda. Suatu benda terdiri dari sel-sel. Tanpa sel-sel itu tidak ada suatu benda. Sel-sel itu bisa kuat, bahkan dahsyat. Jadi, sel itu adalah kekuatan.
Keluarga sebagai sel dasar atau inti masyarakat berarti unsur penting yang membentuk masyarakat. Tanpa sel itu, tidak ada masyarakat, tidak ada kekuatannya. Suatu negara tanpa keluarga-keluarga yang kuat, mengakibatkan lemahnya negara tersebut. Keluarga adalah tolok ukur kekuatan suatu negara. Kalau keluarga-keluarga dalam suatu negara makmur, maka negara itu akan makmur; kalau miskin, maka negara itu miskin.
Gereja pun demikian. Bila keluarga-keluarga yang merupakan sel dasar atau inti, ulet dan sungguh beriman, Gereja pun ulet dan beriman. Keberadaan Gereja sangat ditentukan oleh keluarga-keluarga di dalamnya. Bila keluarga-keluarga dalam lingkungan atau stasi di paroki tertentu lemah, kurang hidup dalam keberimanan, maka Gereja di sana adalah Gereja yang kurang bersemangat dan kurang hidup.
Keluarga juga disadari sebagai "tempat humanisasi pribadi dan masyarakat". Manusia harus menjadi manusia, bukan obyek (hewan atau alat).
Manusia harus dimanusiakan lewat pendidikan, pemeliharaan, penghormatan, perlakuan, pengembangan, dan pematangan sebagai manusia. Usaha pemanusiaan itu berlangsung seumur hidup. Sasaran akhir pemanusiaan itu ialah supaya manusia mirip dengan Penciptanya, karena manusia itu dicipta menurut gambar dan rupa Allah sendiri (imago Dei).
Guna menggapai tujuan yang dimaksud, keluarga harus diarahkan dan dikembangkan. Sasaran akhir pengarahan dan pengembangan itu adalah kesempurnaan injili dan kekudusan keluarga. Dalam proses pengembangan dan pematangan itu perlu bekal (nutrisi/gizi), yaitu: doa, amal kasih, komuni dalam Ekaristi, sakramen tobat, pengajaran agama pada anak-anak sebagai persiapan untuk menyongsong dan mengarungi masa depan. Dalam usaha pengembangan itu, perlu digalang hubungan saling percaya dan saling memberi/menerima antara orang tua dan anak-anak. Di sana perlu hubungan yang mesra/intim.
Keluarga perlu bersatu dalam Kristus dan memberi diri dibimbing oleh Kristus. Keluarga kristen hendaknya menjadi keluarga beriman. Iman menggerakkan dan mendorong mereka untuk memberi sumbangan (kontribusi) kepada masyarakat di mana mereka hidup dan berada, agar dengan demikian dunia semakin menjadi apa yang dikehendaki oleh Pencipta.