Pemain tak dapat mengambil keputusan sepihak terhadap hal terntentu yang dianggap merugikan timnya, karena pemain tidak dapat sekaligus berperan sebagai wasit. Demikian halnya merekapun sadar bahwa keahliannya adalah memainkan si kulit bundar, tetapi bukan untuk mengejar dan meninju wasit atau pemain lain. Kesadaran terpatri bahwa arena tinju dan arena sepak bola adalah dua hal yang berbeda.
Demikian berlaku bagi para suporter yang sedang menyaksikan pertandingan. Penonton bukanlah pemain dan bukan pula wasit sebuah pertandingan. Arena pertandingan sebak bola adalah milik para wasit dan para pemain sepak bola, tetapi bukan milik semua orang sehingga dapat dengan mudahnya masuk untuk menyerang wasit atau pemain yang dianggap bersalah.
Ini telah menjadi pemahaman bersama. Pengertian dan pelaksanaannya diharapkan sedemikian agar mewujud dalam sebuah pertandingan sepak bola entah sebagai pemain, wasit, official, maupun suporter. Prinsip ini adalah prinsip universal yang mengikat semua orang. Dalam pemahaman akan konsep ini predikat pencinta sepak bola adalah benar karena mereka mencintai fair play dan sportifitas. Mereka bukan lagi penggila sepak bola yang tindakannya tidak jauh dari mereka yang terganggu mentalnya.
Pencinta sepak bola adalah mereka yang telah bebas/merdeka dari mental dan perilaku gila yang suka main hakim sendiri yang merusak semangat fair play dan sportifitas. Mereka sadar bahwa sebuah permainan adalah permainan yang harus dimainkan tetapi bukan untuk dipermainkan dengan semena-mena entah sebelum maupun sesudah permainan.
Memerdekakan Sepak Bola
Perhelatan akbar ETMC sesungguhnya menunjukkan dengan kasat mata bahwa masyarakat belumlah bebas/merdeka. Sejatinya momen yang menyisahkan polemik dan tragedi kemanusiaan ini mengajak kita berbenah secara cepat dan serius supaya peristiwa serupa tidak berulang di masa mendatang. Cukuplah kiranya generasi mendatang hanya mendengar saja kisah pilu yang pernah terjadi, tetapi tidak untuk mengulanginya lagi.
Bila mau jujur, tragedi persebakbolaan yang telah terjadi pada perhelatan akbar ETMC (2017), adalah puncak dari aneka tragedi persebakbolaan yang telah berulang kali terjadi dalam pertandingan sepak bola di aneka level, entah itu pertandingan antar RT, sekolah, desa/kelurahan, dan kecamatan di berbagai wilayah di propinsi ini. Demikian pula dalam sebuah pertandingan yang benuansa rohani sekalipun seperti pertandingan antar KUB/stasi atau OMK, tragedi memilukan sering pula terjadi.
Tak terpungkiri bahwa pertandingan sepak bola sejak lama telah menjadi bahan polemik berkepanjangan dan tak sedikit pula yang melahirkan tragedi kemanusiaan di masyarakat dalam aneka jenjangnya. Ini mengharuskan sebuah penyadaran secara menyeluruh terhadap masyarakat dalam aneka level supaya polemik dan tragedi kemanusiaan yang telah terjadi berkali-kali tidak terulang lagi di kemudian hari.
Panitia sebuah turnamen seharusnya bekerja secara independen. Mereka harus bebas dari campur tangan siapapun, termasuk campur tangan para pemegang kekuasaan yang sarat muatan politik kepentingan sesaat, yang pada akhirnya lebih mengutamakan piala dengan mengabaikan darah dan nyawa manusia.
Para pemain yang kesehariannya bergelut dengan si kulit bundar sepatutnya menyadari perannya sebagai pemain sepak bola bukan pengadil pertandingan. Pemain sepak bola bukan wasit, bukan pula petinju atau pesilat dalam arena sepak bola. Perannya hanya memainkan bola, tetapi bukan meninju atau menendang lawan ataupun mengadili pemain lain.
Yang teramat penting dalam sebuah pertandingan sepak bola adalah wasit. Sejatinya wasit yang ditunjuk adalah yang memiliki kualifikasi, kredibel, dan independen. Mereka harus mampu memimpin dengan adil, tanpa harus terikat oleh aneka kepentingan. Netralitas sang pengadil dalam sebuah pertandingan sepak bola menjadi kunci agar dapat berlangsungnya sebuah pertandingan dengan baik atau tidak.