bola yang diberi nama El Tari Memorial Cup (2017) di bumi FLOBAMORA telah usai. Momen ini disambut ria oleh hampir seluruh warga NTT yang nota bene adalah pecinta dan penggila sepak bola. Menariknya lagi momen ini memuncak di bulan Agustus, bulan kemerdekaan NKRI tercinta, yang tentunya mengundang sebuah refleksi mendalam bagi mereka yang mencintai NKRI dan persepakbolaan nasional.
Perhelatan akbar pertandingan sepak
Seperti diketahui bersama bahwa partai pamungkas ETMC (2017) mempertemukan PERSE Ende selaku tuan rumah Vs PSN Ngada. Laga yang seharusnya dapat berlangsung damai ternyata dinodai oleh tindakan para pihak kedua tim yang tidak sportif sehingga menodai citra persepakbolaan NTT.
Tak tanggung-tanggung, puncak dari pertandingan ini bukannya euforia kemenangan, tetapi kerusuhan yang berujung pengrusakan stadion dan hilangnya nyawa manusia. Sebagai pecinta sebak bola perasaan miris melingkupi peristiwa tragis ini. Kegilaan penggila sepak bola telah terbukti dalam tindakan yang sama sekali tak dapat ditolerir dari aneka sudut pandang, karena sejarah akan mencatatnya sebagai sebuah momen kelam dalam perhelatan ETMC di bumi FLOBAMORA.
Persoalan ternyata tidak serta merta berhenti dalam stadion Marilonga yang merupakan kebanggaan masyarakat Ende, tetapi masih berlanjut lewat aksi saling maki dan hujat antara kedua suporter. Kata-katanya sungguh di luar nalar bagi mereka yang memiliki akal dan hati nurani. Bahkan sampai saling menghujat bupati kedua kabupaten sebagai pemimpin yang diharapkan seharusnya mampu meredahkan gejolak yang terjadi pada saat itu karena mereka dianggap punya wibawa dan kuasa atas para suporter kedua tim, tetapi pada kenyataannya seolah-olah tidak berbuat apapun.
Lantas berbarengan dengan momen kemerdekan, boleh dikatakan bahwa ternyata secara faktual masih banyak anak bangsa ini yang terbelenggu oleh mentalitas anti fair play dan anti sportifitas. Masyarakat ternyata belum sepenuhnya merdeka karena masih diborgol dan dikekang oleh kepentingan sesaat serta budaya adu jotos, adu mulut, dan sentimen primordialisme.
Sepak Bola: Simbol Pemersatu
Banyak pengamat menyebut bahwa sepak bola merupakan simbol universal yang mampu menyatukan bangsa, agama, ras, serta berbagai sentimen dan ikatan lainnya. Media TV dan media elektronik lainnya senantiasa menyuguhkan setiap momen pertandingan sepak bola yang membawa euforia yang sangat luar biasa. Semua orang yang terlibat di dalamnya tak lagi terikat oleh berbagai latar belakang sosial dan budaya yang dibawanya, tetapi melebur dalam satu simbol pemersatu bersama yakni sepak bola.
Masyarakat yang sebelumnya tersekat-sekat dalam berbagai ikatan primordial menunjukkan dengan antusias kecintaannya terhadap tim kesangan mereka, tetapi bukan kebencian terhadap yang lain. Mereka saling berbaur dan menyerukan sorak kemenangan, tetapi bukan caci maki dan hujat menghujat.
Prinsip fair play dan sportifitas menjadi prinsip dan junjungan semua. Kalah dan menang adalah persoalan biasa. Semuanya sadar pada inti sebuah pertandingan yakni keseriusan, kerja keras, pengorbanan, dan totalitas. Kemenangan akan dipandang sebagi buah dari semuanya, sedangkan kekalahan akan menjadi bahan introspeksi agar lebih lagi mengusahakannya pada kesempatan yang lain.
Di sisi lain sebuah pemahaman telah terbangun bahwa wasit adalah pemimpin dan pengadil tertinggi dalam sebuah pertandingan. Apapun yang terjadi dalam sebuah pertandingan adalah hak prerogatif wasit. Terlepas bahwa wasit sebagai manusia dapat saja keliru dan bahkan salah mengambil keputusan dalam sebuah pertandingan, semuanya dapat menerima dan memaklumi dengan baik.
Persoalan di dalam dan luar lapangan adalah dua hal yang berbeda. Bila pada akhirnya wasit terdapat keliru atau salah dalam memimpin dan mengadili sebuah pertandingan, baik pemain maupun penonton dapat patuh secara sadar, karena selanjutnya masih ada pemimpin dan pengadil lain yang akan mengadili keputusan kontroversial sang wasit.