Mohon tunggu...
Andreas Neke
Andreas Neke Mohon Tunggu... Guru - Pegiat media sosial

Andreas Neke lahir di Sobo (Mangulewa) pada 08/03/80. Pendidikan Dasar di SDI Waruwaja. Pendidikan Menengah di SMPN 2 Bajawa dan SMAN Bajawa. Selanjutnya ke Seminari KPA St. Paulus Mataloko (2 tahun) , dan Pendidikan Calon Imam Kapusin (OFM Cap) di Sibolga (1 tahun), Parapat (1 tahun) , Nias (1 tahun), STFT St. Yohanes Pematangsiantar (4 tahun), TOP di Paroki St. Fransiskus Xaverius Ndondo (10 bulan), serta Pasca Sarjana (2 tahun). Pernah mengajar di SMA St. Clemens Boawae (2010-2017). Saat ini mengajar di SMK Sanjaya Bajawa. Aktif menulis opini di HU Flores Pos. Sudah menulis 2 buah buku yang berjudul REMAJA DAN PERGUMULAN JATI DIRINYA dan IMAN YANG MEMBUMI. Tinggal di Padhawoli, Kel. Trikora, Bajawa, Flores, NTT.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kehormatan: Antara Waka dan Waka-Waka

1 Juni 2024   13:07 Diperbarui: 1 Juni 2024   13:20 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://encrypted-tbn0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcSiWIMFIi3HDUyAHanKWgDjvo_Mz8rTOm0nLU20PlpPjWFdADgCu2D-2V8U914c8-JZZcc&usqp=CAU

Gengsi/kehormatan Afrika memang dipertaruhkan dalam kancah sepak bola dunia. Pembuktian menjadi harga mati. Kemenangan berarti pengukuhan gengsi/kehormatan di mata dunia. Walaupun akhirnya harapan itu tak terwujud, kiranya Ghana sebagai satu-satunya wakil Afrika yang dapat melangkah lebih jauh dapat juga keluar lapangan dengan kepala tegak karena mereka dapat menang secara terhormat.

Yang pasti untuk menjadi sang pemenang tidaklah gampangan dan atau murahan. Untuk menjadi pemenang dibutuhkan latihan yang terus-menerus, kerja keras, skill individu, kekompakan tim, dan fair play. Semuanya mewujud dalam proses dan tidak pernah sekali jadi seperti membalikkan telapak tangan. Mimpi akan menjadi kenyataan dalam waktu yang tepat. Trofi akan diraih dari sebuah proses kerja keras yang terus-menerus. Kehormatan menjadi puncak kejayaan yang sesungguhnya bila semuanya diraih secara jujur tanpa mengorbankan orang lain.

 

Waka : Kehormatan, Gengsi

 

Terinspirasi dari lagu Waka Waka-nya Shakira, saya ingat akan waka -nya orang Bajawa atau waka-nya orang Flores pada umumnya.Waka dalam bahasa Bajawa dapat berarti gengsi atau kehormatan. Waka bertalian langsung dengan dahi (matangia) atau wajah yang biasanya langsung dilihat orang. Ini biasanya dikaitkan dengan ungkapan "go waka" (wajah dan kehormatan/gengsi). Bila terjadi kesalahan atau kekeliruan, kerap terdengar ungkapan, "Mukaku/mu mau disimpan dimana?". Jadi waka-nya orang Bajawa berarti gengsi atau kehormatan dalam relasinya dengan penilaian orang lain.

Waka (gengsi/kehormatan) dapat dihubungkan dengan banyak aspek dalam relasi sosial. Nilai dari gengsi/kehormatan dilihat dari kemampuan memberikan makan kepada orang banyak ketika mengadakan pesta (nikah, komuni pertama, pembangunan rumah, dan lain-lain). Gengsi/kehormatan juga dikaitkan dengan kerelaan membantu sesama yang menderita (sakit, mati, dan lain-lain) lewat pemberian sumbangan atau sekurang-kurangnya kehadiran nyata dalam peristiwa tersebut.

Selain itu, gengsi/kehormatan juga kerap dikaitkan dengan perbuatan negatif dari orang lain. Terhadap yang terakhir ini, gengsi/kehormatan adalah harga mati yang harus dijaga supaya orang lain tidak menghina atau mempermainkannya. Hal terakhir ini bisa menjadi rumit bila kemudian dihubungkan dengan relasi keluarga. Gengsi/kehormatan/nama baik harus dijaga supaya orang lain sedapat mungkin bisa menghormatinya.

Di atas segalanya, bagi orang Bajawa dan mungkin untuk kebanyakan orang Flores pada umumnya, waka (gengsi/kehormatan) kerap dikaitkan dengan kesanggupan mengadakan pesta. Ukuran waka (gengsi/kehormatan) seseorang dikaitkan dengan seberapa besar sebuah pesta diselenggarakan dan seberapa puasnya orang terlibat dan menikmati pelayanan pesta yang sedang diselenggarakan.

Sayang bahwa nilai dari sebuah gengsi/kehormatan direduksi sebatas kenikmatan mulut dan kepuasan perut. Ini sangat berbeda dengan konsep gengsi/kehormatan pada banyak suku bangsa lainnya, yang menilai gengsi/kehormatan dari kesanggupan keluarga untuk menyekolahkan anak, melimpahnya harta, pendidikan/pengetahuan yang memadai, dan hal-hal lain yang lebih positif dalam membangun masa depan yang lebih baik.

Kemiskinan dan kemelaratan di bidang ekonomi kerap dipersoalkan. Satu dari beragam penyakit kronis yang harus segera diobati adalah nilai waka dalam pesta ini. Pesta sebagai sarana pemersatu keluarga dan kebersamaan, juga sebagai ungkapan kegembiraan manusiawi adalah wajar untuk dilaksanakan. Namun, adalah keanehan yang luar biasa bila dalam realitas kemiskinan dan penderitaan, pesta yang luar biasa mewah diselenggarakan. Bukankah ini sebuah pemborosan yang tidak perlu?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun