Realitas "mengenal dan dikenal" didasari oleh gagasan filosofis bahwa manusia adalah makhluk eksentris.[2] Sebagai makhluk eksentris, manusia mengalami diri sebagai eksistensi yang terarah keluar kepada yang lain. "Diriku" terarah keluar dan aku bergantung pada yang lain. Inilah dimensi sosialitas manusia.
Realitas sosialitas merupakan sebuah eksistensi. Tak ada relasi tanpa kehadiran sesama, karena sesama hadir sejak awal dan dalam seluruh dimensi hidupku. "Aku" menjadi aku karena "kamu", dan "aku" dipanggil untuk menjadi aku untuk "kamu". Ini berarti bahwa kesosialan merupakan sesuatu yang khas manusia karena berhubungan langsung dengan kodrat asalinya sebagai manusia.
Relasi antar manusia terwujud dalam perjumpaan dengan orang lain.[3] Dalam perjumpaan tersebut, "aku" dipanggil untuk mengakui sesamaku sebagai "engkau" yang saling mengada.[4] "Aku" menjadi aku adanya karena "engkau"; dan "engkau" menjadi engkau adanya karena "aku".Â
Semuanya mewujud dalam realitas keunikan manusia. Keunikanku meresapi keunikanmu, dan keunikanmu meresapi keunikanku sehingga membaurlah keunikanku dan keunikanmu. Keunikanku tumbuh bersama keunikanmu sehingga menjadi "keunikan kita".
Dalam realitas ini ada proses memberi dan menerima dengan sukarela dan antusias. Di dalamnya "aku" dan "engkau" duduk sejajar dalam kekitaan. Dan, ini bisa mewujud secara sempurna bila diikat oleh cinta dan simpati[5] yang didasari oleh rasa saling menghormati, saling mempercayai, dan bersikap bisa dipercaya.
Â
Dengan demikian, realitas sosialitas dalam proses sosialiasi harus terjadi dalam perjumpaan dengan orang lain. Di dalamnya terjadi pembauran keunikan karena adanya kesediaan untuk saling memberi dan menerima atas dasar cinta dan simpati.
Â
Â
Remaja dan Sosialisasi Diri
Â