SA'O ADHA atau SA'O NGAZA
RUMAH ADAT DALAM PERSPEKTIF MASYARAKAT NGADA
Rumah adat dalam Bahasa Bajawa disebut sa'o adha (rumah adat) atau sa'o ngaza (rumah bernama). Sa'o (rumah) merupakan kata kerabat Austronesia. Kata yang dekat dengan bunyi dan punya kemiripan makna dengan sa'o adalah saung dalam gugus budaya Sunda.
Menurut peneliti dan pakar budaya Ngada, Dr Watu Yohanas Vianey, rumah tradisional masyarakat Ngada merupakan tempat tinggal sekaligus sebagai centrum kegiatan adat istiadat.
Rumah sebagai sa'o adha (rumah adat) erat kaitannya dengan kegiatan kebudayaan dan praktik-praktik kearifan lokal yang tradisional, normatif, dan sakral. Sedangkan rumah sebagai sa'o ngaza adalah rumah tradisional yang memiliki nama. Nama rumah tradisional ini terkandung kekayaan makna moralitas, spiritualitas, dan sakralitas.
Rumah yang tidak memiliki nama dalam wilayah budaya Ngada disebut baru atau rumah biasa. Rumah itu didirikan di luar perkampungan adat.
Rumah adat masyarakat Ngada bukan sekedar ekspresi dan artefak budaya masyarakat adat setempat, tetapi lebih dari itu terkandung nilai-nilai, citra, dan jiwa yang terkandung di dalamnya.
Masyarakat Ngada percaya bahwa roh leluhur tetap bersemayam dan menjaga keselamatan penghuni rumah, selain itu pula menjadi cerminan status sosial dari penghuni sa'o.
Ini artinya bahwa dalam rumah adat terkandung faktor kepercayaan bahwa rumah itu lebih dari sekedar tempat berteduh, melainkan tempat tinggal yang memiliki aspek simbolis dan kosmologis, yang didirikan untuk tujuan ritual dan ingin menghadirkan kesatuan kosmik antara yang Ilahi dan manusiawi.
Dari uraian di atas tampak bahwa pandangan kosmologi masyarakat Ngada sangat mempengaruhi cara hidup mereka. Pemahaman bahwa ada kekuatan lain (yang mutlak) yang menguasai semesta, baik di tingkat atas maupun bawah (Dewa Zeta, Nitu Zale), melahirkan sejumlah upacara/ritual adat yang pada intinya "memohon" keselamatan, restu, dan ucapan syukur atas apa yang telah dialami oleh setiap masyarakat Ngada dalam hidup pribadinya, keluarga, d suku maupun kampung.
Muara dari semua upacara ini, adalah menjaga harmoni dengan sesama, alam semesta, dan Yang Ilahi. Kesatuan dengan alam sebagai makrokosmos sangatlah penting bagi orang Bajawa karena tindakan melukai sesama atau  mencederai yang lain dapat mengundang murka alam. Karena itu, sejumlah upacara yang terkait religiusitas asli yang dipaparkan di atas merupakan upaya untuk meredakan murka alam dan Yang Ilahi dalam kehidupan manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H