Â
Judul ini saya ambil dari status FB seorang sahabat. Saya tidak ingat siapa persis orangnya. Tetapi bagi saya, ungkapan ini ada benarnya seturut pengamatan dan pengalaman pribadi.
Kita biasa mendengar ungkapan Latin Vox populi est vox Dei (suara rakyat adalah suara Tuhan). Namun ungkapan ini kemudian dipelesetkan menjadi Vox populi est vox doi (suara rakyat adalah suara uang (doi=uang dalam bahasa Bajawa dan orang timur pada umumnya paham akan kata ini)).
Pelaksanaan Pileg 2024 telah usai dengan beragam kisah dan cerita di dalamnya. Apapun hasilnya, keputusan penyelenggara Pemilu harus diterima sebagai bentuk ketaatan dan penghormatan kepada Negara. Ini menjadi bukti kepatuhan konstitusional setiap warga Negara.
Namun demikian, secara pribadi saya menjadi sangat kecewa mengingat praksis politik yang sarat money politic. Bagi saya sebagai warga masyarakat dan pencinta demokrasi, pelaksanaan Pileg 2024 di Kabupaten Ngada adalah pelaksanaan Pileg yang buruk mengingat maraknya praktek money politic yang telah menodai dan merusak citra demokrasi.
Patut disayangkan bahwa politik yang seharusnya adalah politik kompetensi telah menjadi politik uang. Ini sebuah pendidikan politik yang buruk. Generasi masa mendatang akan mengambil contoh yang salah ini sebagai bentuk praksis politik pada pelaksanaan Pemilu selanjutnya.
Artinya bahwa berpolitik harus memiliki banyak uang. Politik adalah uang. Yang berduitlah yang dapat bertarung dalam gelanggang politik. Warga Negara yang memiliki kompetensi tetapi tidak memiliki uang, tidak dapat terjun ke dalam percaturan politik karena pasti kalah oleh mereka yang beruang.
                                                        Â
Padahal praksis politik yang benar adalah politik gagasan. Yang paling penting dalam politik seharusnya isi kepala tetapi bukan isi dompet. Kira-kira apakah yang dapat dihasilkan dari para Caleg yang mengandalkan isi dompet  dalam pelaksanaan tugasnya selama lima tahun ke depan?
Jawabannya pasti sudah dapat ditebak, yakni untuk mengembalikan isi dompet dengan tetap mengabaikan isi kepala dan isi hati (hati nurani). Padahal keduanya (isi kepala dan hati nurani) menjadi landasan pertimbangan moral dalam praksis hidup sehari-hari. Bayangkan jika seseorang tanpa isi kepala da isi hati. Apakah yang akan terjadi kepada masyarakat ke depannya?
Politik KompetensiÂ
Politik adalah keterarahan untuk kepentingan dan kebaikan bersama. "Bersama" yang dimaksud adalah warga masyarakat, yang berarti pula mencakup semua, bukan untuk kepentingan pribadi atau golongan atau keluarga atau tim sukses.
Keterarahan untuk kepentingan dan kebaikan bersama mengandaikan bahwa para Caleg memiliki kompetensi. Kata kompetensi berasal dari bahasa Inggris competence atau competency, yang berarti kemampuan, kecakapan, dan wewenang.
Ini berarti jika seseorang memiliki kompetensi berarti kompeten (cakap) atau "having suitable or sufficient skill, knowledge, experience, etc., for some purpose; properly qualified", yang berarti memiliki keahlian, pengetahuan, pengalaman yang mendukung. Atau dengan perkataan lain memiliki kualitas dalam menjalankan amanat rakyat.
Politik gagasan berarti kualitas kreatif dalam menggunakan isi kepala dan kata hati untuk kebaikan dan kepentingan orang banyak. Tanpa kualitas bergagasan dapat dipastikan bahwa seorang Caleg impotensi (tidak memiliki keahlian, pengetahuan, pengalaman). Atau yang seharusnya kompeten tetapi pada kenyataannya impoten.
Dalam praksisnya, seorang Caleg harus paham akan tugas dan mampu memperjuangkan tugas-tugasnya secara baik dan benar. Harapannya adalah bukan sekedar digaji dan ikut arus tetapi memiliki pertimbangan intelektual dan hati nurani dalam segala kebijakan dan keputusan menyangkut banyak orang.
Diharapkan agar praksis politik ke depannya adalah lebih mementingkan gagasan dari pada uang. Politik harus lahir dari gagasan, karena gagasan akan melahirkan tindakan untuk kebaikan dan kepentingan bersama.
Sudah saatnya masyarakat memiliki kemampuan mengeliminasi para Caleg yang miskin gagasan tetapi kaya secara materi dan tidak memiliki gagasan. Para Caleg yang dipilih seharusnya mereka yang memiliki kompetensi dan tidak impoten.
Prinsip dasar demokrasi bahwa suara rakyat yang adalah suara Tuhan. Suara rakyat dapat menjadi suara Tuhan bila dalam dirinya masyarakat juga mampu menggunakan pertimbangan akal budi yang jernih dan hati nurani yang murni untuk menentukan pilihan politik.
Tanpa pertimbangan ini, keduanya baik Caleg maupun masyarakat tetap hidup dalam praksis politik yang sesat. Yang berarti bahwa Vox populi non est vox Dei (suara rayat bukan suara Tuhan).Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H