Mohon tunggu...
Andreas Neke
Andreas Neke Mohon Tunggu... Guru - Pegiat media sosial

Andreas Neke lahir di Sobo (Mangulewa) pada 08/03/80. Pendidikan Dasar di SDI Waruwaja. Pendidikan Menengah di SMPN 2 Bajawa dan SMAN Bajawa. Selanjutnya ke Seminari KPA St. Paulus Mataloko (2 tahun) , dan Pendidikan Calon Imam Kapusin (OFM Cap) di Sibolga (1 tahun), Parapat (1 tahun) , Nias (1 tahun), STFT St. Yohanes Pematangsiantar (4 tahun), TOP di Paroki St. Fransiskus Xaverius Ndondo (10 bulan), serta Pasca Sarjana (2 tahun). Pernah mengajar di SMA St. Clemens Boawae (2010-2017). Saat ini mengajar di SMK Sanjaya Bajawa. Aktif menulis opini di HU Flores Pos. Sudah menulis 2 buah buku yang berjudul REMAJA DAN PERGUMULAN JATI DIRINYA dan IMAN YANG MEMBUMI. Tinggal di Padhawoli, Kel. Trikora, Bajawa, Flores, NTT.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Abai demi Harmoni

25 Maret 2024   17:20 Diperbarui: 14 Mei 2024   10:28 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://assets-a1.kompasiana.com/items/album/2019/11/22/topeng-5dd6e33ed541df69685a6ae2.jpg sumber gambar

ABAI DEMI HARMONI

Bincang-bincang ringan terjadi di suatu senja. Sambil menikmati cita rasa kopi khas Bajawa dan sebungkus rokok, seorang sahabat berujar, "Bajawa ini menyimpan banyak hal terselubung. Kalau tidak segera ditangani, maka akan seperti gunung es, yang bisa saja meledak/meletus pada suatu waktu. Bajawa ini kota dingin tetapi sebenarnya panas".

Saya terdiam seolah mengiakan apa yang baru dikatakannya. Pikiran liar saya mulai ke sana kemari. Dan pembicaraan pun makin meluas dengan beragam hal yang sudah dan sedang terjadi dalam masyarakat dalam beragam dimensi kehidupan.

Pada akhirnya kami bersepakat bahwa memang banyak hal terselubung yang sengaja dibungkus. Salah satu faktor penyebabnya adalah masyarakat sudah sangat lama hidup dalam salah kaprah memahami konsep budaya, sehingga seolah-olah membenarkan banyak hal yang terjadi dalam masyarakat, walaupun itu adalah sebuah kesalahan.

Salah satu filosofi budaya masyarakat Bajawa yang sering kali diungkapkan dalam beragam kesempatan adalah "modhe ne'e soga waoe, meku ne'e doa delu". Secara harfiah ungkapan ini berarti berbuat baik dan bersahabat atau berdamai dengan semua orang (Andreas Neke, Iman yang Membumi, hal, 26).

Masyarakat Bajawa paham betul dengan ungkapan ini. Dan ungkapan ini sudah menjadi habitus masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.

Masyarakat Bajawa sangat cinta damai. Semua orang akan diterima dan dilayani dengan baik. Siapapun yang datang pasti  tanpa kesulitan untuk berada dan tinggal di kota dingin ini. Dan serentak dengan itu pula akan merasa betah dan kerasan berada bersama bersama mereka.

Namun demikian, ungkapan ini juga kerap salah kaprah dalam prakteknya. Ungkapan leluhur ini sering melahirkan kompromi hanya sekedar menjaga harmoni dengan mengabaikan prinsip kebenaran. Bersamaan pula melahirkan banyak sisi terselubung dengan maksud menjaga harmoni dalam sebuah kebersamaan.

Pertanyaan dasarnya adalah apakah demi sebuah harmoni harus mengorbankan prinsip kebenaran dalam kebersamaan?

Sisi Gelap Kompromi

Masyarakat Bajawa sangat kental juga praksis yang mengedepankan gengsi dan nama baik. Kedua hal ini sering berjalan berbarengan. Gengsi berarti kehormatan dan martabat yang penting untuk dipertahankan dan diperjuangkan dalam kehidupan, walaupun pada praksisnya sering mengorbankan diri sendiri demi orang lain.

Sedangkan "nama baik" melekat dalam praksis menjaga gengsi. Dalam kesehariannya "nama baik" harus dijaga dan dipertahankan, walaupun mengorbankan prinsip-prinsip lain dari kehidupan. Maka, demi "nama baik" seseorang atau orang tertentu terjadilah praktek kompromi.

Kompromi pada hakekatnya baik. Namun menjadi tidak baik, apalagi benar, bila harus mengorbankan prinsip-prinsip dasar kehidupan seperti keadilan, kebenaran, dan kejujuran. Ini berarti bahwa keadilan, kebenaran, dan kejujuran tidak boleh kalah karena kompromi demi menjaga gengsi dan "nama baik".

Pepatah "modhe ne'e soga waoe, meku ne'e doa delu" pada dasarnya adalah sebuah prinsip demi kebaikan bersama. Namun demikian, kebaikan bersama tidak harus mengorbankan prinsip-prinsip moralitas. Keadilan, kebenaran, dan kejujuran adalah prinsip moral yang mestinya diperjuangkan untuk membangun dan menata kebersamaan hidup yang lebih baik.

Berbuat baik untuk semua orang adalah kebaikan yang juga menjadi prinsip dasar moralitas. Tetapi jika berbuat baik demi menjaga gengsi dan "nama baik" seorang walaupun sudah melanggar prinsip moral yang lain, ini berarti telah terjadi kesalahan.

Sejatinya tak berlaku prinsip kompromi di sini, karena banyak juga prinsip-prinsip kehidupan masyarakat Bajawa yang mengajarkan keadilan, kebenaran, dan kejujuran.

Diam dalam Kesalahan

Masyarakat Bajawa pada umumnya adalah cinta damai dan mencintai harmoni. Patut disayangkan bahwa prinsip ini kemudian melahirkan "sikap diam". Sikap diam yang dimaksud adalah mereka mengetahui ada sesuatu yang salah atau keliru, tetapi tidak ada keberanian untuk menyatakannya.

Bila terjadi suatu hal yang menjadi sebuah kesalahan, yang terjadi biasanya adalah pembicaraan-pembicaraan senyap yang terjadi secara terselubung. Pembicaraan akan terus menyebar dari orang ke orang, dari satu tempat ke tempat lainnya. Namun, semua akan tetap membisu untuk menyatakan bahwa telah terjadi sebuah kesalahan.

Hal yang sama bila mengikuti perkembangan di media komunikasi seperti FB, WA, dan lain-lain. Bila ada yang menyampaikan sebuah kesalahan yang terjadi, akan muncul komentar yang mengarah kepada sikap diam, "itu urusan personal". Hanya segelintir orang saja yang berani menyatakan kesalahan. Dan selanjutnya, informasi yang demikian perlahan-lahan menjadi sepi komentar atau bahkan hilang karena dihapus atau hilang dengan sendirinya seiring berjalannya waktu.

Sikap diam memang baik, namun tidak benar jika itu menyangkut kesalahan yang mengabaikan prinsip keadilan, kebenaran, dan kejujuran. Jika terus diam dan membisu maka akan lahir sikap kompromi yang negatif. Dan tidak mengherankan jika dialog pada awal tulisan ini menjadi benar, "Bajawa ini kota dingin tetapi sebenarnya panas", karena sikap diam yang melahirkan kompromi-kompromi yang mengabaikan prinsip keadilan, kebenaran, dan kejujuran.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun