Waktu menunjukkan 05.46 WITA. Suara sepeda motor supra terdengar jelas. Tidak lama kemudian ayunan langkah kaki terdengar pula dengan jelas. Dari suara dan semuanya tidak asing bagiku. Dan, ternyata seorang sahabat lama yang datang berkunjung.
Agak terganggu memang mendapat kunjungan di pagi hari karena akan merusak aktivitas dan rutinas di pagi hari. Tapi tidak mengapa, sebentar melepas rindu rasanya perlu juga untuk menjaga kelanggengan relasi pertemanan.
Bincang-bincang ringanpun dimulai. Ternyata sang sahabat mau curhat menyangkut persoalan setelah pemilihan calon legislatif yang barusan berlalu. Perasaan hati yang ringan pada awalnya menjadi agak berat. Saya menjadi teramat serius mendengarkan dengan cermat segala hal yang dikisahkannya.
Ini terjadi di salah satu wilayah di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang nota bene menyebut asas demokrasi Pancasila sebagai landasannya. Dan ditambah lagi menyebut dirinya sebagai seorang yang beragama.
Pada proses awal sebelum pemilihan sudah ada intimidasi kepada para penggarap tanah untuk memilih salah satu Caleg, dan bila tidak harus keluar dan tidak boleh lagi menggarap tanah garapan. Bukan hanya itu saja, ternyata ada praktek money politics melalui serangan fajar oleh pihak keluarga dan para tim sukses.
Proses awal itu ternyata masih berlanjut sampai saat ini setelah proses pemilihan. Proses intimidasi dan teror masih terjadi. Dan inilah yang disebut dengan premananisme. Nafsu berkuasa telah meniadakan akal sehat dan hati nurani. Tak ada lagi perasaan takut terhadap asas negara hukum.
Pada titik yang sama, masih ada upaya untuk mencari tahu dan menemukan masyarakat yang tidak memilih Caleg tersebut. Gerakan spionase dibuat dimana-mana kepaa pemilih yang terindikasi tidak memilih Caleg dimaksud.
Ini adalah tindakan pengangkangan terhadap prinsip demokrasi. Money politics, pemaksaan, teror, dan intimidasi adalah tindakan yang merusak citra demokrasi.
Sejatinya "memilih dan dipilih" adalah hak setiap warga negara. Semua warga negara bebas menentukan pilihan politiknya tanpa paksaan, intimidasi, dan teror. Dan pada aspek ini, negara ternyata belum mampu menjamin hak politik setiap warga negaranya.
Waktu ternyata telah menunjukkan jam 08.03. Saya memotong pembicaraan dan meminta ijin untuk melanjutkan rutinitas harian. Sang sahabatpun memohon pamit sambil menghabiskan sisa minuman di gelasnya.
Sambil membersihkan diri, saya  berkesimpulkan bahwa pemilihan calon legislatif kali ini telah menelurkan tiga terminologi penting yakni politisi, "polisi", dan preman. Tiga istilah ini menyatu dalam satu pribadi karena pola pikir dan pola laku yang berseberangan dengan prinsip demokrasi, dan lebih lagi telah mengangkangi NKRI sebagai negara hukum.
Seorang politisi adalah seseorang yang tergugah dan terpanggil untuk memperjuangkan kepentingan orang banyak. Praksis politik sejatinya adalah keterarahan kepada masyarakat yang membutuhkan bantuan. Selanjutnya seorang politisi mau berjuang tanpa pamrih untuk kebaikan bersama.
Bukan sebaliknya bertindak layaknya seorang preman yang memberikan rasa takut dan ancaman serta paksaan. Atau sebaliknya bertindak layaknya seorang "polisi" yang menjadi mata-mata bagi seorang penjahat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H