Mohon tunggu...
andreas tampubolon
andreas tampubolon Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

saya lahir di binjai, sumatera utara. saat ini saya menempah ilmu di Universitas Negeri Medan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kealpaan Eli

26 Mei 2016   19:07 Diperbarui: 26 Mei 2016   19:10 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi ini kembali aku menjadi orang pertama yang tiba di sekolah. Pertama? Sebenarnya ketiga setelah pasangan suami istri Pak Jukri dan Buk Onah. Aku hanya Guru yang pertama hadir. Kebiasaan ku ketika di sekolah selalu mading Eli menjadi tujuan awal. Aku selalu antusias melihat apa ada sesuatu yang baru disana. Tentunya bukan untuk melihat beberapa tulisan ku atau tulisan dan karya siswa lainnya yang hanya dikarenakan tugas. Sekali lagi hanya dikarenakan tugas.

Ternyata kali ini berbeda. Berjalan aku mendekati mading. Sekilas aku melihat ada tulisan baru. Senang sekali hati ku. Ingin sekali cepat ku baca tulisan siapa itu dan apa isi tulisan itu. Ini adalah hal yang luar biasa. Tulisan itu membuat keriput wajah ku hilang. Aku tersenyum dan berjalan semakin cepat mendekati mading Eli. Tapi, senyum ku hilang di ambil dewa Anubis[1]. Keriput kembali ke wajah ku. Kembali wajah tua menghampiri ku. Berikut akan ku sampaikan isi mading itu :

Aku menarik napas lalu membacanya” Untuk Bapak XXX” Maaf tidak ku sebutkan namanya. “Ketika saya membaca tulisan Bapak, saya kagum dengan tulisan Bapak. Dari tulisan Bapak saya tahu Bapak adalah pribadi yang sangat antusias, berpengharapan tinggi, cerdas dan memiliki pengorbanan. Tapi kadang jenuh dengan diri sendiri” Aku menggerutu. Sejak kapan pula dia bisa menilai hanya dari tulisan ku. Siapa orang ini. ku lihat ke bawah tak ada namanya. Sudahlah ku lanjutkan lagi “Selain itu, Bapak juga pribadi yang kritis. Ini yang saya lihat ketika kita belajar di kelas. Bapak selalu mengatakan betapa bobroknya negeri ini. Tapi terkadang saya ingin bertanya pada Bapak tentang apa yang sebenarnya sudah Bapak lakukan? Tapi saya tidak berani. Inilah mungkin seperti yang pernah Bapak katakan bahwa kata Muchtar Lubis ciri manusia Indonesia yang kedua adalah feodal. Saya mungkin seorang yang feodalistik karena tidak berani mengungkapkan apa yang aku pikirkan karena Bapak adalah seorang Guru. Saya takut untuk kejujuran itu.

Aku terhenyak. Kening ku mengkerut. Keringat ku tercurah. Kaki ku gemetar. Betapa begitu dalam dia memperhatikan ku. Dia mengingat perkataan ku. Dia juga mengkritik ku. Aku bertanya-tanya siapa dia ini. Baiklah ku lanjutkan tulisannya.

“Beberapa waktu ini di sekolah tersebar isu Bapak suka sama Eli. Itu terjadi karena tulisan Bapak sendiri. Tulisan Bapak pada Eli. Sekali lagi Pak, tulisan Bapak pada Eli. Untuk itu saya ingin bertanya, kenapa pada Eli Pak? Apa karena Eli murid yang pintar? Apa karena Eli murid yang rajin? Apa karena Eli murid yang mendapat juara 1? Apa karena itu Pak? Jadi murid yang tidak seperti Eli itu tidak layak mendapat apa yang Bapak perlakukan terhadap Eli! Murid yang datang ke sekolah terlambat itu, yang malas belajar itu, yang menyontek itu, yang tidak rajin itu, yang bodoh itu, apa Bapak acuhkan! Bapak Hukum! Atau Bapak anggap tidak ada! Benarkah begitu Pak? Saya harap, jika Bapak ada waktu untuk menjawab pertanyaan ini dan menjawabnya di mading Eli ini. Jika tidak Bapak jawab dalam hati saja”.

Kembali hati ku bergetar. Darah ku mendesir. Pompaan jantung sepertinya semakin kuat. Darah terlalu cepat mengalir. Pori-pori kulit membesar. Dari sini darah itu keluar. Naik juga ke kepala, menyelinap di otak. Tertembak aku.

“Kembali saya sampaikan Pak, kali ini masih tentang Eli, murid kesayangan Bapak itu. Eli terlalu rapuh untuk memahami tulisan Bapak. Seminggu dia tidak datang karena sakit. Saya sendiri tidak tahu apa penyebabnya sakit. Benar sakit atau tidak. Saya tidak tahu Pak. Tapi dalam pemahaman saya dari tulisan kedua Bapak, Bapak menggantungkan apa yang Bapak harapkan pada Eli sementara Bapak sendiri tidak menyatakan apa-apa. Bapak tidak melakukan apa-apa. Bapak hanya mengharapkan Eli melakukan lebih. Tapi Bapak tidak melakukan apa-apa. Tidak pernah Pak. Tidak. Bapak hanya mengharapkan dan mengeluh. Itu kejujuran saya Pak. Bukankah Bapak suka siswa yang jujur?”

Aku terhempas di pegunungan Rocky. Batu cadas menghantam tubuh ku. Nafas ku terhenti. Aku ingin menyudahi tulisan ini. Untuk yang pertama dari sebuah kesadaran yang menembus tubuh ku. Sekali lagi aku tertembak.

“Ini yang terakhir Pak. Saya tahu Bapak kritis. Bapak selalu bilang negeri ini bobrok. Tapi Pak, bukankah kita atau kalian kaum terdidik yang mendidik itu yang juga membobrokan negeri ini? Mungkin Bapak bertanya bagaimana mungkin, atau Bapak hanya diam akan hal itu atau pura-pura tidak tahu. Untuk yang terakhir ini saya jelaskan Pak. Bagi saya Pak, pendidikan itu sendiri yang membobrokan negeri yang sudah bobrok ini. Bapak yang bilang kata Pramodya Ananta Toer penulis kesukaan Bapak itu bahwa kaum terpelajar harus sudah adil sejak dalam pikirannya. Adil? Dalam pikiran? Hinaan macam apa ini yang Bapak lakukan dengan kaum terdidik yang mendidik itu kepada kami dengan membagikan lembar jawaban ketika Ujian Nasional berlangsung. Sejak Sekolah Dasar saya sudah melihat ini Pak! Hinaan apa ini? Kebodohan macam apa ini? Dan sampai sekarang bahkan di sekolah yang Bapak agungkan inipun terjadi. Dan apa pula itu uang buku yang di bagi persen antara kaum terdidik itu, Uang Perpustakaan yang buku-bukunya tidak pernah bertambah, di suruh beli ini lalu di bawa pulang oleh kaum terdidik yang mendidik itu. Kebodohan macam apa ini Pak? Menangis aku menulis ini Pak. Pendidikan macam apa yang diperdagangkan ini Pak? Mungkin air mata ku juga terjatuh di kertas ini. Dan pernahkah Bapak nyatakan ini dalam suatu bentuk pemahaman yang Bapak nyatakan? Apa Bapak takut? Bukankah Bapak yang bilang dalam perjuangan tidak diperlukan rasa takut, tapi keyakinan. Bukankah ini sebuah perjuangan Pak? Hinaan macam apa ini? Kejujuran macam apa ini yang Bapak tanamkan bersama kaum terdidik yang mendidik itu. Terlalu jauh Bapak melayang, mengudara dan terbang seperti elang melintasi negeri ini, sedangkan di rumah Bapak sendiri masih gelap dan kotor. Bukankah lebih baik Bapak membersihkannya terlebih dahulu daripada memaksa Eli menjadi sesuatu?. Itu pertanyaan terakhir saya Pak. Jika Bapak ada waktu, saya menunggu jawaban Bapak di mading Eli ini”

“Saya adalah alpa Pak. Alpa bagi saya adalah ketiadaan. Saya adalah ketiadaan dari apa yang Bapak sampaikan. Dan kealpaan inilah yang membuat saya seperti ini. Untuk saat ini Bapak tak perlu tahu siapa alpa ini karena suatu saat nanti Bapak akan mengetahuinya. Maafkan saya jika tulisan saya menyudutkan Bapak. Saya tidak bermaksud begitu. Ini hanya dorongan dalam diri yang tak bisa saya lawan. Itulah kealpaan saya Pak. Saya selalu mendukung Bapak karena saya tahu Bapak orang baik.”

Aku terpaku di depan mading Eli. Tertembak tepat di jantung, di hati, di kepala. Dan aku roboh dalam kebisuan. Roboh dalam ketidakdigdayaan. Roboh dalam gubahan kecil seoarang siswa yang aku sendiri tidak tahu siapa dirinya, tapi dengan tepat membidik seluruh organ penting tubuh ku. Bidikan dengan tembakan yang sangat akurat, tepat dan dalam kena-mengenanya. Dan aku mulai menyadari, aku adalah kaum terdidik yang mendidik dengan dusta dalam pikiran. Kaum terdidik yang tidak adil sejak dalam pikirannya. Aku. Akulah itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun