Mohon tunggu...
andreas tampubolon
andreas tampubolon Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

saya lahir di binjai, sumatera utara. saat ini saya menempah ilmu di Universitas Negeri Medan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Oportet Unimed

23 Februari 2016   10:08 Diperbarui: 23 Februari 2016   10:37 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh : Agus Andreas Tampubolon, S.Pd

Kekuasaan memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap perilaku korupsi. Demikianlah manusia selalu ingin berkuasa. Apalagi di negara yang kekuasaan sangat di junjung tinggi. Di negara yang feodalistik. Kekuasaan adalah kekuatan, hingga kekuasaan membuat manusia lupa pada daratan. Yakni dari mana manusia itu berasal.

Seberapapun kekuasaan itu di batasi, dibagi atau di pisah jika kekuasaan itu di barengi dengan kegiatan rasuah. Maka apa harganya kekuasaan itu? Tentulah kekuasaan itu adalah jalan menambah limpahan pundi-pundi kekayaan atau proses membalikan dana segar untuk mendapatkan kekuasaan.
Lord Acton dalam salah satu karyanya mengemukakan ”Power tends to corrupt, and absolute power tends to corrupt absolutely”, artinya kekuasaan cenderung untuk berbuat korupsi. Tesis Acton tersebut selaras dengan apa yang dikemukakan oleh Montesquieu dalam Le Esprit Des Lois (The Spirit of Law), bahwa orang yang berkuasa ada tiga kecenderungan. Pertama, kecenderungan untuk mempertahankan kekuasaan. Kedua, kecenderungan untuk memperbesar kekuasaan. Ketiga, kecenderungan untuk memanfaatkan kekusaan.

Untuk itulah perlu dilakukan pendidikan bagaimana kekuasaan itu harus di dapatkan. Bagaimana kekuasaan itu harus dilaksanakan. Bagaimana kekuasaan itu memiliki nilai kebermanfaatan. Kebermanfaatan yang bukan hanya pada si diri penguasa. Namun, kekuasaan yang kebermanfaatannya kepada rakyat yang dikuasainya. Karena itu adalah hakekat kekuasaan yang terbaik.

Pendidikan adalah cara terbaik. Menurut Ki Hadjar Dewantara pendidikan adalah daya-upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek) dan tubuh anak, dalam rangka kesempurnaan hidup dan keselarasan dengan dunianya. Bertumbuhnya budi pekerti akan menciptakan generasi yang memiliki nilai hidup yang sempurna. Kekuasaan yang didapat tentu pula memiliki kebermanfaatan terhadap sesama manusia dan mahkluk hidup lainnya. Kekuasaan yang tidak koruptif.

Semua Urusan Memakai Uang Tunai!
Semua urusan memakai uang tunai adalah dagelan dari singkatan sumut yang telah berkembang di masyarakat. Selain itu ada istilah berbahasa batak “hepeng do na mangatur negara on” artinya uang yang mengatur negara ini. Seolah-olah uang adalah tolak ukur kekuasaan di Sumatra Utara. Apakah ini kebiasaan, dagelan atau memang kenyataan?

Provinsi Sumatera Utara terletak pada 1° - 4° Lintang Utara dan 98° - 100° Bujur Timur. Luas daratan Provinsi Sumatera Utara 72.981,23 km². Provinsi Sumatra Utara memiliki 33 Kabupaten/Kota (sumber wikipedia). Dari luas daratan tersebut Sumatra Utara merupakan wilayah terluas ke-8 dari 34 provinsi yang ada di Indonesia. Data ini menunjukan bahwa Sumatra Utara merupakan lahan basah bagi perilaku-perilaku korupsi penguasa yang tidak bertanggung jawab.

Menurut Data ICW pada Semester I Tahun 2015 bahwa Sumatra Utara dan NTT adalah daerah dengan penanganan kasus korupsi terbanyak di Indonesia yakni 24 kasus. Sumatra Utara menjadi provinsi yang mengalami kerugian negara paling banyak akibat kasus tindak pidana korupsi tersebut, mencapai Rp 120,6 miliar dengan nilai suap sebesar Rp 500 juta. Data-data sebelumnya sejak tahun 2012 Sumatra Utara merupakan Provinsi yang terus berada di atas mengenai masalah korupsi bersama Aceh, Riau, Jakarta dan Papua.

Gubernur Provinsi Sumatera Utara juga silih berganti pada periode belakangan ini yang harus memakai rompi kuning KPK. Syamsul Arifin dan kemudian Gatot Pujo Nugroho juga melanjutkannya bersama istrinya. Selain itu ada mantan Ketua DPRD Sumut periode 2009-2014 Saleh Bangun yang juga sedang menjalani pemeriksaan di KPK dan ikut bersamanya dilanjutkan oleh Ketua DPRD Sumut terpilih untuk periode 2014-2019 Ajib Shah bersama tersangka lainnya.

Benarkah ini hanya kebiasaan, dagelan, kenyataan atau regenarasi perilaku korupsi di Sumatra Utara? Data-data di atas menunjukan bahwa Sumatra Utara adalah nyata sebagai provinsi yang memiliki keterlibatan erat dengan perilaku korupsi. Dari teladan pemimpin di daerah baik eksekutif dan legislatif kekuasaan dijadikan sarana korupsi. Selain itu, budaya masyarakat juga koruptif. Tidak sulit untuk melihat budaya koruptif masyarakat Sumatra Utara. Di jalanan, khususnya di Kota Medan kita dapat melihat bahwa perilaku berlalu-lintas masyarakat menunjukan banyak perilaku koruptif seperti menerobos lampu merah dan berjualan di trotoar.

Apakah ini harus di biarkan? Jika tidak dibiarkan, bagaimana masyarakat Sumatra Utara memperbaikinya? Jalan terbaik tentu melalui upaya preventif yang salah satunya adalah pendidikan anti korupsi. Cara represif hanya menindak pelaku koruptif, namun tidak menghilangkan pelaku-pelaku baru. Pendidikan tentu dapat mencegah munculnya pelaku-pelaku baru yang korup di Sumatra Utara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun