Oleh : Agus Andreas Tampubolon, S.Pd
Kekuasaan memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap perilaku korupsi. Demikianlah manusia selalu ingin berkuasa. Apalagi di negara yang kekuasaan sangat di junjung tinggi. Di negara yang feodalistik. Kekuasaan adalah kekuatan, hingga kekuasaan membuat manusia lupa pada daratan. Yakni dari mana manusia itu berasal.
Seberapapun kekuasaan itu di batasi, dibagi atau di pisah jika kekuasaan itu di barengi dengan kegiatan rasuah. Maka apa harganya kekuasaan itu? Tentulah kekuasaan itu adalah jalan menambah limpahan pundi-pundi kekayaan atau proses membalikan dana segar untuk mendapatkan kekuasaan.
Lord Acton dalam salah satu karyanya mengemukakan ”Power tends to corrupt, and absolute power tends to corrupt absolutely”, artinya kekuasaan cenderung untuk berbuat korupsi. Tesis Acton tersebut selaras dengan apa yang dikemukakan oleh Montesquieu dalam Le Esprit Des Lois (The Spirit of Law), bahwa orang yang berkuasa ada tiga kecenderungan. Pertama, kecenderungan untuk mempertahankan kekuasaan. Kedua, kecenderungan untuk memperbesar kekuasaan. Ketiga, kecenderungan untuk memanfaatkan kekusaan.
Untuk itulah perlu dilakukan pendidikan bagaimana kekuasaan itu harus di dapatkan. Bagaimana kekuasaan itu harus dilaksanakan. Bagaimana kekuasaan itu memiliki nilai kebermanfaatan. Kebermanfaatan yang bukan hanya pada si diri penguasa. Namun, kekuasaan yang kebermanfaatannya kepada rakyat yang dikuasainya. Karena itu adalah hakekat kekuasaan yang terbaik.
Pendidikan adalah cara terbaik. Menurut Ki Hadjar Dewantara pendidikan adalah daya-upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek) dan tubuh anak, dalam rangka kesempurnaan hidup dan keselarasan dengan dunianya. Bertumbuhnya budi pekerti akan menciptakan generasi yang memiliki nilai hidup yang sempurna. Kekuasaan yang didapat tentu pula memiliki kebermanfaatan terhadap sesama manusia dan mahkluk hidup lainnya. Kekuasaan yang tidak koruptif.
Semua Urusan Memakai Uang Tunai!
Semua urusan memakai uang tunai adalah dagelan dari singkatan sumut yang telah berkembang di masyarakat. Selain itu ada istilah berbahasa batak “hepeng do na mangatur negara on” artinya uang yang mengatur negara ini. Seolah-olah uang adalah tolak ukur kekuasaan di Sumatra Utara. Apakah ini kebiasaan, dagelan atau memang kenyataan?
Provinsi Sumatera Utara terletak pada 1° - 4° Lintang Utara dan 98° - 100° Bujur Timur. Luas daratan Provinsi Sumatera Utara 72.981,23 km². Provinsi Sumatra Utara memiliki 33 Kabupaten/Kota (sumber wikipedia). Dari luas daratan tersebut Sumatra Utara merupakan wilayah terluas ke-8 dari 34 provinsi yang ada di Indonesia. Data ini menunjukan bahwa Sumatra Utara merupakan lahan basah bagi perilaku-perilaku korupsi penguasa yang tidak bertanggung jawab.
Menurut Data ICW pada Semester I Tahun 2015 bahwa Sumatra Utara dan NTT adalah daerah dengan penanganan kasus korupsi terbanyak di Indonesia yakni 24 kasus. Sumatra Utara menjadi provinsi yang mengalami kerugian negara paling banyak akibat kasus tindak pidana korupsi tersebut, mencapai Rp 120,6 miliar dengan nilai suap sebesar Rp 500 juta. Data-data sebelumnya sejak tahun 2012 Sumatra Utara merupakan Provinsi yang terus berada di atas mengenai masalah korupsi bersama Aceh, Riau, Jakarta dan Papua.
Gubernur Provinsi Sumatera Utara juga silih berganti pada periode belakangan ini yang harus memakai rompi kuning KPK. Syamsul Arifin dan kemudian Gatot Pujo Nugroho juga melanjutkannya bersama istrinya. Selain itu ada mantan Ketua DPRD Sumut periode 2009-2014 Saleh Bangun yang juga sedang menjalani pemeriksaan di KPK dan ikut bersamanya dilanjutkan oleh Ketua DPRD Sumut terpilih untuk periode 2014-2019 Ajib Shah bersama tersangka lainnya.
Benarkah ini hanya kebiasaan, dagelan, kenyataan atau regenarasi perilaku korupsi di Sumatra Utara? Data-data di atas menunjukan bahwa Sumatra Utara adalah nyata sebagai provinsi yang memiliki keterlibatan erat dengan perilaku korupsi. Dari teladan pemimpin di daerah baik eksekutif dan legislatif kekuasaan dijadikan sarana korupsi. Selain itu, budaya masyarakat juga koruptif. Tidak sulit untuk melihat budaya koruptif masyarakat Sumatra Utara. Di jalanan, khususnya di Kota Medan kita dapat melihat bahwa perilaku berlalu-lintas masyarakat menunjukan banyak perilaku koruptif seperti menerobos lampu merah dan berjualan di trotoar.
Apakah ini harus di biarkan? Jika tidak dibiarkan, bagaimana masyarakat Sumatra Utara memperbaikinya? Jalan terbaik tentu melalui upaya preventif yang salah satunya adalah pendidikan anti korupsi. Cara represif hanya menindak pelaku koruptif, namun tidak menghilangkan pelaku-pelaku baru. Pendidikan tentu dapat mencegah munculnya pelaku-pelaku baru yang korup di Sumatra Utara.
Oportet Unimed
Sebelumnya, penulis sudah menekan urgensi Pendidikan Anti Korupsi di Unimed sebagai salah satu mata kuliah di setiap jurusan yang terdapat di Unimed dalam tulisan “Unimed Dalam Pemberantasan Korupsi”. Tulisan tersebut sudah di tulis sejak tahun 2013, akan tetapi hingga saat ini belum ada juga perhatian serius Unimed untuk melaksanakan Pendidikan Anti Korupsi pada jenjang perguruan tinggi.
Padahal sejatinya Unimed selalu mengedepankan The Characther Building University. Unimed selalu mengatakan pentingnya suatu karakter. Slogan tersebut tentu sejalan dengan Pendidikan Anti Korupsi yang di dalamnya juga mengedepankan karakter yaitu kejujuran, tanggung jawab, disiplin dan berintegritas. Namun, kenapa slogan karakter tersebut tidak di tuang dalam suatu Pendidikan Anti Korupsi di Unimed?
Hingga saat ini, sebagai Lembaga Pendidikan Tenaga keguruan (LPTK) Unimed untuk jenjang S-1 memiliki 7 fakultas dengan 44 jurusan yang 35 di antaranya adalah di bidang pendidikan dan keguruan. Tahun 2015, Universitas Negeri Medan (UNIMED) wisuda 2.830 lulusan pada 21 dan 22 Oktober 2015 yang pelaksanaannya di Gedung Serbaguna Kampus Hijau Unimed. “Sebagai Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), Unimed memfokuskan sebagian besar lulusannya yang bergelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.) untuk menjadi guru, konselor, pamong belajar, dan tenaga kependidikan. Sedangkan bagi lulusan yang bergelar Ahli Madya (A.Md.), Sarjana Sains (S.Si.) Sarjana Ekonomi (S.E.), dan Sarjana Sastra (S.S.) diproyeksikan untuk menembus dunia kerja yang bergerak di sektor industri dan jasa seperti; konsktruksi, manufaktur, pertanian, perikanan, telekomunikasi, perbankan, dan pariwisata”, ujar Rektor Unimed, Prof. Dr. Syawal Gultom, M.Pd dalam sambutannya (Humas Unimed.com). Selain data lulusan yang tiap tahun mencapai ribuan tersebut, Unimed juga merupakan salah satu universitas yang paling di minati di Indonesia dapat terlihat pada tahun 2015 jumlah pendaftar Unimed mencapai 35.866 yang terdiri dari berbagai provinsi di Indonesia.
Begitu besarnya peluang Unimed. Sejalan dengan Prof. Dr. Syawal Gultom, M.Pd mengenai lulusan Unimed Sarjana pendidikan (S.Pd) bahwa Unimed merupakan pemasok guru terbesar di Sumatra Utara. Mayoritas guru-guru di Sumatra Utara adalah alumni Unimed. Untuk itu, sebagai investasi pendidikan maka pendidikan anti korupsi di Unimed sangat urgen. Dengan mata kuliah pendidikan anti korupsi di setiap jurusan, Unimed akan memproduksi guru yang anti korupsi. Guru yang memiliki sikap, keterampilan dan pengetahuan tentang korupsi sehingga gerakan masiv melawan korupsi dapat dilakukan di setiap daerah Kabupaten/Kota di Sumatra Utara dimana guru-guru produksi Unimed melaksanakan kinerjanya sebagai guru. Perjuangan melawan perilaku korupsi dapat dilaksanakan dari akar yaitu melalui pendidikan budi pekerti menurut Ki Hadjar Dewantara dan Character Building menurut Unimed. Sehingga kekuasaan yang menurut Lord Acton yang identik dengan perilaku korup dapat di minimalkan melalui pendidikan yang mendidik peserta didik menjadi penguasa yang tidak korup. Penguasa yang amanah. Penguasa yang bermanfaat untuk sesama manusia dan alamnya.
Demikian juga lulusan Sarjana Sains (S.Si), Sarjana Ekonomi (S.E) dan Sarjana Sastra (S.S) yang menurut Prof. Dr. Syawal Gultom, M.Pd di proyeksikan di industri dan jasa seperti; konsktruksi, manufaktur, pertanian, perikanan, telekomunikasi, perbankan, dan pariwisata. Maka Unimed akan menghasilkan tenaga kerja yang berintegritas untuk diri dan negara, serta pengusaha muda yang jujur dalam berusaha.
Kemudian, tentu banyak juga alumni Unimed yang akan menjadi penguasa di Sumatra Utara. Dengan Pendidikan Anti Korupsi ini maka penguasa yang merupakan alumni Unimed bukanlah penguasa yang dibutakan oleh kekuasaan. Penguasa yang dapat melaksanakan kekuasaan. Kekuasaan yang tidak koruptif.
Data-data ini menunjukan oportet Unimed. Kata oportet berasal dari bahasa latin yang berarti harus, atau disebut juga keharusan. Jadi ini adalah keharusan Unimed. Keharusan Unimed dalam upaya preventif jangka panjang dalam menangani korupsi di Sumatra Utara. Keharusan Unimed untuk meminimalisir citra buruk korupsi yang selama ini sudah melekat di Sumatra Utara dengan istilah ‘sumut’ dan ‘Hepeng do na mangatur negara on’. Keharusan Unimed untuk menciptakan penguasa yang tidak korup.
Penutup
Pepatah Indonesia mengatakan “ada nasi di balik kerak”. Pepatah ini memiliki arti masih ada sesuatu yang belum diselesaikan atau diperhatikan. Hal itu adalah Oportet (keharusan) Unimed dalam memberantas korupsi di Indonesia melalui penerapan mata kuliah pendidikan anti korupsi di Unimed. Investasi pendidikan jangka panjang inilah yang diperlukan Sumatra Utara saat ini. Selain itu, tentulah seluruh stakholder di Sumatra Utara juga harus saling bahu membahu membangkitkan marwah Sumatra Utara untuk keluar dari stigma buruk korupsi. Stigma buruk tentang kekuasaan yang korup dan kecenderungan kekuasaan yang disalahgunakan (abuse of power). Oportet Unimed!!!
Penulis merupakan alumni Unimed
Mahasiswa Pascasarjana Unimed Program Studi Pendidikan dasar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H