Bukankah seharusnya simpel? Kalo kebebasan pers tidak boleh diganggu gugat ya jangan marah kalo media mengambil sudut pandang negatif untuk memberitakan seorang pianis muda atau siapapun anak bangsa yg gagal dapat piala.
Ketika media diberi masukan yg positif oleh presiden, kita bully. Giliran ada anak bangsa dikabarkan negatif oleh media, kita marah. Maunya apa coba?
Bukankah ini yg dinamakan standar ganda?
Coba ganti gambar Joey Alexander dengan foto presiden Jokowi atau Prabowo. Bukankah keduanya sama, sama-sama berprestasi walau beda bidang. Jokowi dan Prabowo diapresiasi oleh pihak asing tapi malah dibully di negeri sendiri, bukan cuma oleh media tapi oleh sebagian besar rakyat Indonesia yg tersekat dalam kubu yg berbeda.
Pendukung wiwi menghina pendukung wowo. Sebaliknya, pendukung wowo mencaci pendukung wiwi. Saling cela, saling posting aibnya si anu dan si itu. Bahkan yg bukan aib pun, di kondisikan sebagai aib. Blusukan salah, naik kuda juga salah. Yg satu teriak kecebong, yg satu bales ngatain kampret. Gitu terus sampe kiamat..Â
Atau,Â
coba juga ganti dengan foto Ahok, Ridwan Kamil, atau Bu Risma, sang walikota Surabaya.
Masih kurang?Â
Ganti dengan foto pihak kepolisian dan TNI yg kemarin berjibaku saat peristiwa bom Sarinah. Dan hasilnya akan tetap sama. Mereka dipuji di luar negeri tapi malah dibully dan dianggap pencitraan, kamuflase, pengalihan isu oleh negeri sendiri.
Polisi datang cepat dibilang pencitraan. Giliran telat, dibilang makan gaji buta. Sadis ya?
Mbak, mas...