Mohon tunggu...
Andrea Felicia
Andrea Felicia Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - andrea; pelajar

pelajar.

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Di Bawah Lindungan Ka'Bah Meski Cinta Tak Sejalan

30 September 2021   21:30 Diperbarui: 30 September 2021   21:33 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Judul buku: Di Bawah Lindungan Ka’bah

Pengarang: Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka)

Penerbit: Gema Insani

Tahun terbit: 2017 (Cetakan Pertama) 

Jumlah halaman: 94 halaman

ISBN: 978-602-250-417-7

Gejolak cinta dalam diri pemuda, seringkali seakan menjadi alasan untuk menjalankan hidup.

Namun, apa jadinya bila cinta yang begitu mendalam terhadap seseorang yang merupakan kawan semasa bertumbuh dan beranjak dewasa, harus dipendam dan terpaksa lenyap begitu saja, karena perbedaan status sosial? Bagaimanakah jika pada kenyataannya, perasaan cinta terhadap jiwa cantik seseorang harus direlakan? 

Kenyataan pahit harus dirasakan oleh Hamid, seorang pemuda di perkampungan Minangkabau, Sumatera Barat pada era tahun 1927 yang setengah dari hidupnya dihabiskan dengan tinggal berdampingan bersama seorang wanita yang selama ini terpaksa ia anggap hanya sebatas sebagai adik perempuannya; Zainab. 

Ditakdirkan untuk menempati tempat tinggal yang hanya terpisah beberapa langkah, ternyata tidak sebanding dengan jarak status sosial diantara keduanya yang tentu menjadi kenyataan pahit yang harus diterima. 

Kenyataan yang mengekang cinta kedua insan tergambarkan begitu jelas dalam buku Di Bawah Lindungan Ka’bah  karya Prof. DR. H. Abdul Malik Karim Amrullah atau yang lebih dikenal dengan sapaan Buya Hamka. 

Buya Hamka adalah seorang ulama dan sastrawan Indonesia yang juga pernah terjun dalam dunia politik dan mengemban tugas sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama. 

Buya Hamka yang lahir di Agam, Sumatera Barat, 17 Februari 1908, tumbuh besar dalam didikan keluarga Islam dan hanya menamatkan pendidikan formal hingga jenjang kelas dua SD. Setelah itu, dirinya memilih untuk mendalami ilmu agama di Sumatera Thawalib, Padang Panjang yang merupakan sekolah Islam yang didirikan ayahnya. 

Dari tempat itulah, perjalanannya mendalami agama Islam dan Arab berawal hingga akhirnya pada 1927 Buya Hamka memutuskan untuk memulai karirnya sebagai guru agama di berbagai daerah Indonesia seperti Medan dan Padang serta mendirikan Madrasah Mubalighin.

Pada tahun yang sama layaknya latar waktu yang diambil Buya Hamka dalam buku Di Bawah Lindungan Ka’bah, beliau memutuskan untuk pergi ke Mekkah dengan tujuan untuk memperdalam ilmu bahasa Arab. 

Secara tidak sengaja, beliau bertemu dengan Agus Salim, yang memberinya saran untuk kembali dan mengembangkan karir di Indonesia. Akhirnya, Buya Hamka memutuskan untuk kembali ke Tanah Air, setelah tujuh bulan dirinya menetap di Mekkah. 

Diketahui bahwa sebelumnya Buya Hamka telah memulai karir sebagai seorang wartawan, editor dan penulis sejak tahun 1920, dimana pada saat itu, dirinya merupakan seorang wartawan aktif di beberapa tempat. Setelah kembali ke Indonesia, beliau bekerja sebagai editor dan penulis, yang berhasil menerbitkan majalah serta karya ilmiah Islam yang salah satunya adalah novel Di Bawah Lindungan Ka’Bah. 

Perjalanan karir beliau berhasil membawanya hingga meraih banyak penghargaan seperti anugerah kehormatan “Doctor Honoris Causa” dari Universitas Al-Azhar. 

Apabila diperhatikan lebih mendalam, cerita yang terdapat dalam buku Di Bawah Lindungan Ka’bah memiliki kemiripan dengan kisah hidup sang penulis. Pengalaman yang dialami Hamid dalam cerita, memiliki kronologi kejadian yang mirip layaknya pengalaman nyata Hamka dalam hidupnya. Mulai dari kisah lahir dan tumbuh besar di tanah Sumatera Barat pada era tahun 1900-an dari keluarga Muslim, kehidupan seorang pemuda yang harus tinggal bersama salah satu orang tuanya, hingga pemuda yang harus merantau bahkan hingga ke Mekkah. Tidak sampai disitu, kemiripan selanjutnya yakni keduanya memiliki pengalaman serupa, dimana mereka jatuh sakit di Mekkah yang membuat Hamka sempat berpikir dirinya akan menemui ajal di tanah suci itu. 

Dengan latar belakang ajaran agama Islam yang tertanam pada diri Hamka sejak kecil, tidak heran jika dalam buku Di Bawah Lindungan Ka’bah suasana keagamaan terasa sangat kental selama penceritaannya. 

Terlebih lagi, selain berlatar tempat di Indonesia, buku ini juga mengambil latar tempat di tanah suci Mekkah, Arab Saudi. Dalam buku dapat ditemukan penggunaan kata yang merujuk pada ajaran maupun hal yang berkaitan dengan agama Islam, seperti kata tasawuf, thawaf dan I’tikaf. Kata-kata yang muncul dalam buku dapat mewakilkan ajaran dan kegiatan dalam agama Islam, maupun benda yang masih berhubungan dengan atribut keagamaan, seperti kata kiswah yang berartikan kain tabir yang melindungi Ka’bah.

Salah satu ajaran Islam yang dimunculkan dalam buku, yakni perihal keadilan dalam cinta sebagaimana disebutkan dalam salah satu dialog Ibu Hamid, yang berbunyi “Memang Anak, …cinta itu ‘adil’ sifatnya, Allah telah menakdirkan dia dalam keadilan, tidak memperbeda-bedakan di antara raja-raja dengan orang minta-minta, tiada menyisihkan orang kaya dengan orang miskin, orang hina dengan orang mulia, bahkan kadang-kadang tiada juga berbeda baginya antara bangsa dengan bangsa…” Tidak hanya memunculkan ajaran agama Islam, dalam dialog yang sama, Hamka juga menyinggung tentang hukum alam yang berlaku bagi manusia yakni “....Tetapi aturan pergaulan hidup, tidak membiarkan yang demikian itu berlaku. 

Orang sebagai kita ini telah dicap dengan ‘derajat bawah’ atau ‘orang kebanyakan’, sedang mereka diberi nama ‘cabang atas’, cabang atas ada kalanya karena pangkat dan adakalanya karena harta benda.” Selain menyertakan unsur keagamaan dan hukum alam, dalam bukunya, Hamka juga mengisahkan adat istiadat masyarakat setempat yang berlaku bagi kaum perempuan. 

Dimulai dari masa pingit bagi perempuan yang berawal saat dirinya telah menamatkan sekolahnya hingga mendapatkan seorang suami, dan tradisi perjodohan bagi seorang perempuan. 

Dalam buku digambarkan bagaimana pada zaman dahulu, perempuan tidak memiliki kebebasan untuk memilih calon pendamping hidupnya, sehingga terkadang perempuan harus sanggup untuk ‘menekan’ perasaan pribadi untuk berkorban bagi keluarganya dengan cara menerima perjodohan antara dirinya dengan lelaki yang keluarganya memiliki latar belakang sosial yang sederajat.

Berbicara mengenai latar waktu, meski latar waktu secara tersurat hanya disebutkan pada bagian awal buku, namun dari nama tempat, kegiatan, maupun penggunaan kata yang digunakan Hamka sudah cukup menjelaskan kepada pembaca mengenai keadaan Indonesia di waktu itu. Misalnya, terdapat bagian yang menyebutkan nama sekolah, tempat Hamid menuntut ilmu, yakni Hollands Inlandsche School (HIS) dan Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). 

Melalui penggunaan bahasa asing dalam nama tempat Hamid bersekolah, pembaca sudah dapat menduga, bahwa latar waktu yang diambil dalam buku adalah ketika Indonesia belum merdeka dan masih dibawah penjajahan Belanda. Secara jelas, Hamka juga menggunakan kata maupun frasa zaman dahulu yang mungkin bagi para anak muda saat ini sulit untuk dimengerti, misalnya kata masygul, pakansi, anakanda dan frasa cucur peluh, jerat semata. 

Berbicara mengenai pengalaman hidup, pengalaman hidup Hamid yang diceritakan dalam buku, dituliskan begitu lengkap sehingga pembaca dapat mengetahui isi hati terdalamnya. Pembaca juga dibawa untuk melihat pengalaman hidup Hamid dari perspektif wanita pujaannya, Zainab. 

Meski terdapat bagian dalam buku yang dirasa menceritakan suatu kejadian secara berulang, tetapi dengan gaya penceritaan yang diambil dari dua perspektif orang berbeda membuat pembaca tertarik untuk menamatkan karya Hamka yang satu ini. Penggambaran akan perasaan cinta yang begitu mendalam dalam hati kedua pemuda dan pemudi begitu jelas, didukung dengan gaya bahasa zaman dahulu yang masih menggunakan panggilan seperti “Adinda, Kakanda” yang semakin mendukung suasana romantis yang ada dalam buku ini. 

Pada sisi lain, penggambaran perasaan sesak akibat kenyataan pahit tentang perbedaan status sosial yang menjadi penghalang cerita cinta keduanya pun sangat tergambarkan terutama dengan peristiwa yang dialami baik oleh Hamid maupun Zainab. 

Kenyataan pahit yang dialami Hamid secara gamblang digambarkan oleh penulis, melalui dialog ibunda Hamid yang mengingatkannya bahwa dirinya dan Zainab bagaikan langit dan bumi.

 Tidak cukup sekali, namun kenyataan pahit itu semakin menjadi-jadi ketika ibunda Zainab secara langsung meminta bantuan Hamid, untuk membujuk putrinya agar menyetujui perjodohan diantaranya dengan seorang rekan ayahnya yang berstatus sosial setara dengan keluarga mereka. Keadaan yang membuat kedua insan ini tidak dapat saling memiliki, akhirnya benar-benar memisahkan keduanya dengan jarak dan waktu. 

Tanpa mereka sadari, momen tersebut merupakan saat terakhir dalam hidup keduanya untuk menatap satu sama lain secara langsung. Hamid memutuskan untuk mengangkat kaki dari kampung halamannya dan memulai kisah perantauannya, hingga akhirnya dirinya menapakkan kaki di tanah suci.

Bertahun-tahun lamanya terpisahkan, ternyata tidak membuat cinta keduanya padam begitu saja. Kedua insan masih berharap pada keajaiban yang mungkin akan datang untuk mempersatukan mereka dan mengizinkan keduanya memulai kisah cinta sesuai harapan.  Jarak dan waktu seolah tak menjadi penghalang, meski semakin hari, perasaan sesak dalam diri keduanya semakin besar. Tanpa kabar dan tanpa tahu dimana, Zainab setia menunggu kiriman surat Hamid, yang kini mencoba menata hidup di kota Mekkah. Perasaan cinta dan rindu akan Hamid yang terpendam begitu mendalam, menyebabkannya jatuh sakit hingga pada akhirnya pun ajal menghampirinya. Mengetahui keadaan ini, lantas membuat Hamid yang kini berada di kota suci Mekkah, kehilangan arah dalam hidupnya dan pada akhirnya, membawanya kembali kepada Sang Pencipta, di bawah lindungan Ka’Bah. Mungkin, keduanya memang memilih untuk menjalin kisah cinta di alam yang berbeda, alam yang mengizinkan keduanya bersatu tanpa batasan penghalang.

Bersampulkan soft cover dengan jenis kertas koran, membuat buku ini terasa ringan dan dapat dengan mudah dibawa kemana saja, karena tidak membutuhkan banyak tempat untung menyimpannya. 

Dengan dimensi panjang 19,4 cm, lebar 13,7 cm dan tebal 0,6 cm membuat buku karya Hamka ini cocok untuk menjadi teman perjalanan. Tetapi, meski begitu cukup disayangkan karena penggunaan kertas, jumlah halaman yang sedikit dan jenis cover yang tipis, sangat memungkinkan buku untuk terlipat atau tertekuk karena dirasa kurang kokoh. 

Sepertinya akan lebih baik jika ketebalan kertas maupun cover disesuaikan kembali, sehingga dapat membuat buku sedikit lebih kokoh dan tidak mudah terlipat. 

Beralih pada isi buku, pembaca mungkin akan menemukan cukup banyak pemberian nomor berukuran kecil pada bagian kanan atas dari kata-kata yang mungkin terdengar  asing. Pemberian nomor ini ditujukan untuk menyertakan arti atau definisi dari kata-kata tersebut, yang terletak pada bagian bawah halaman. Hal ini menjadi salah satu nilai tambahan bagi buku, sehingga pembaca dapat langsung mengetahui pengertian dari suatu kata yang asing dikarenakan penggunaan kata dalam bahasa lain maupun istilah dalam ajaran Islam. 

Mengenai alur cerita yang dicoba dibawakan oleh Hamka, mungkin dirasa sedikit membingungkan bagi beberapa pembaca, karena pada bagian akhir buku terdapat penceritaan dalam penceritaan. 

Dengan penceritaan yang menggunakan sudut pandang Hamid, terdapat bagian dimana Hamid bercerita kepada pembaca mengenai apa yang dirinya dengar dari cerita Saleh, tentang cerita istri Saleh kepada Saleh, dimana istri Saleh menceritakan tentang perkataan Zainab kepadanya secara mendetail. 

Penggunaan gaya penceritaan seperti ini pada awalnya cukup membuat pembaca bingung sehingga tak jarang, pembaca harus membaca kembali satu hingga dua paragraf sebelum pengutipan agar dapat mengetahui dari sudut pandang mana cerita diceritakan. Selain itu, penggunaan bahasa Minang dengan gaya zaman dahulu yang begitu kental dalam buku ini juga dapat menghambat pembaca, sehingga pembaca perlu mencari makna dari kata tersebut di internet, jika dalam buku tidak disertakan artinya di bagian bawah buku. 

Namun secara keseluruhan, buku yang mengisahkan perjalanan cinta kedua jiwa ini, rasanya layak untuk diketahui oleh banyak orang yang telah memahami makna cinta maupun mereka yang hendak menggali lebih dalam mengenai arti cinta dan bentuknya. 

Teruntuk mereka yang telah paham akan rasanya cinta, mungkin dapat sangat memahami perasaan kasih kedua tokoh utama dalam buku ini. 

Tetapi, bagi mereka yang belum atau sedang mencari tahu makna dari cinta, mungkin akan mendapatkan pandangan baru mengenai cinta yang sesungguhnya. 

Lalu, bagaimana jika diantara mereka, belum tertarik untuk membicarakan cinta? Tenang saja, buku ini tidak hanya memberikan pandangan mengenai rasa kasih sayang antar manusia, tetapi juga dalam buku ini menggambarkan keadaan kehidupan masyarakat Sumatera dan sekitarnya di kala itu. 

Penggunaan bahasa dan gaya penceritaan zaman dahulu dalam buku ini, semakin memperkaya pengetahuan pembacanya tentang latar suasana dalam era itu. Pembaca seakan diajak untuk masuk ke dalam bagian buku di latar tahun 1927 dan juga diajak untuk merasakan perasaan dari setiap tokohnya secara satu per satu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun