Dan siapa yang tidak mengenal makhluk legendaris ini, Komodo. Walaupun penampakannya agak berkurang di bulan Juli ini karena memasuki musim kawin, tapi kemunculan satu atau dua ekor predator perkasa ini di hadapanku seolah mengantar diri ke ruang imajinasi mendengar bisik: “hei…ya kamilah Komodo, harap dicatat kami masih hadir di Bumi ini.” Kemunculan Komodo adalah kenyataan yang tidak pernah mengecewakanku walaupun banyak yang bersembunyi di musim kawin.
Tetapi di musim kawin komodo seperti ini jugalah, mungkin, kedua rusa ini dapat sejenak berpose elok di hadapanku, imajinasi lainnya yang seolah berkata inilah kami rusa-rusa cantik dari Pulau Komodo, rekamlah penampakan kami yang elok ini, terbitkan di media warga Kompasiana. Suatu waktu nanti, entah, kami tiada lagi. Tahukah dirimu bahwa kami adalah bagian dari rantai makanan di Pulau Komodo, dan mudah ditebak jika diri kami adalah menu nikmat sang predator perkasa.
Satu ketika, kapal merapat di perairan Pulau Kalong. Sejenak aku menanti detik-detik teater yang sangat memukau. Sang mentari mulai terbenam dan sentuhan jingga dari arah Pulau Kalong mulai diramaikan dengan ritual abadi beterbangannya kalong keluar dari sarangnya. Teater? Kalau ini adalah seni pertunjukan maka kita semua tahu siapa maestronya.
Dari Pulau Kalong? Ya kalong. Kelelawar. Banyak sekali jumlahnya terbang melintasi diriku, melintasi kapal-kapal yang membawa penikmat anugerah Tuhan di timur Indonesia. Kalong yang luar biasa besar ukurannya yang pernah aku saksikan selama ini. Entah ribuan jumlahnya, sepertinya kawanan itu tahu betul ke mana harus mencari makan di malam itu.
Lain pula situasi senja di Labuan Bajo ini. Pemandangan seperti ini seolah membawa diri ke saat-saat awal manusia penjelajah samudra, menemukan benua baru, setidaknya itulah kesan yang paling pas untuk mengenang dan proyeksikan berbagai literatur tentang penjelajah dunia dan awal koloni baru di Tanah Air yang baru, kisah-kisah yang sangat kunikmati. Perjalanan manusia-manusia tangguh menantang samudra raya.