MDGs seperti yang kita tahu adalah sebuah amanat yang berisi 8 tujuan pembangunan millenium yang dicanangkan dan disepakati oleh anggota-anggota PBB termasuk Indonesia. MDGs yang telah disepakati bersama merupakan perwujudan dari visi dunia internasional untuk membangun dunia lebih baik yang ditetapkan ke dalam 8 tujuan tadi, diantaranya adalah tujuan 1: menanggulangi kemiskinan dan kelaparan, tujuan 2: mencapai pendidikan dasar untuk semua, tujuan 3: mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan masyarakat, tujuan 4: menurunkan angka kematian anak, tujuan 5: meningkatkan kesehatan ibu, tujuan 6: memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit menular lainnya, tujuan 7: memastikan kelestarian lingkungan hidup, dan terakhir tujuan 8: membangun kemitraan global untuk pembangunan. Sejak tahun 2000 hingga 2012 banyak agenda pemerintah yang berkaitan dengan MDGs. Saya tertarik untuk menanggapi upaya pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan dan kelaparan (MDGS ke-1). Dalam MGDs ke-1 ini ada tiga target yang harus dituntaskan oleh pemeritah Indonesia dalam kurun waktu 15 tahun (2000 - 2015). Ketiga target tersebut seperti, target 1A: menurunkan hingga setengahnya proporsi penduduk dengan tingkat pendapatan kurang dari USD 1,00 (PPP) per hari dalam kurun waktu 1990 - 2015 , target 1B: menciptakan kesempatan kerja penuh dan produktif dan pekerjaan yang layak untuk semua, termasuk perempuan dan kaum muda, dan terakhir target 1C: menurunkan hingga setengahnya proporsi penduduk yang menderita kelaparan dalam kurun waktu 1990-2015.  Saya lebih memfokuskan untuk menanggapi target 1C karena bagi saya seharusnya di Indonesia tak perlu terjadi kasus kelaparan. MDGs 1 : Menanggulangi Kemiskinan dan Kelaparan Target 1C : Menurunkan hingga setengahnya proporsi penduduk yang menderita kelaparan dalam kurun waktu 1990 – 2015.
Indikator
Saat ini
Target MDG 2015
1.8
Prevalensi balita dengan berat badan rendah / kekurangan gizi
18,4% (2007)
17,9% (2010)
15,5%
1.8a
Prevalensi balita gizi buruk
5,4% (2007)
4,9% (2010)
3,6%
1.8b
Prevalensi balita gizi kurang
13,0% (2007)
13,0% (2010)
11,9%
1.9
Proporsi penduduk dengan asupan kalori di bawah tingkat konsumsi minimum :
-1400 Kkal/kapita/hari
14,47% (2009)
8,50%
-2000 Kkal/kapita/hari
61,86% (2009)
35,32%
Data yang disajikan dalam Laporan Pencapaian MDGs tersebut menujukkan angka penurunan walaupun masih kurang signifikan. Prevalensi balita gizi buruk turun dari 5,4% (2007) menjadi 4,9% (2010), namun untuk prevalensi balita gizi kurang tidak mengalami penurunan dari angka 13,0% dari tahun 2007 ke tahun 2010. Menurut Riskesdas 2010, data prevalensi balita gizi buruk/kurang berdasarkan tempat tinggal menunjukkan bahwa di perdesaan prevalensi balita gizi buruk/kurang (20,7%) lebih besar daripada di perkotaan (15,3%). Berdasarkan pendidikan kepala keluarga, dapat disimpulkan bahwa prevalensi balita gizi buruk/kurang pada balita yang kepala keluarganya berpendidikan rendah lebih besar dibandingkan balita yang kepala keluarganya berpendidikan tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan kepala keluarga dan tempat tinggal berpengaruh kepada status gizi balita. Berikut ini disajikan data Riskesdas tahun 2010 mengenai status gizi balita :
Salah satu tantangan yang menarik dalam target 1C ini adalah mewujudkan pola konsumsi pangan masyarakat yang seimbang. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Mewa Ariani dan Tri Bastuti Purwantini di Jawa Barat mengenai Analisis Konsumsi Pangan Rumah Tangga Pasca Krisis Ekonomi di Propinsi Jawa Barat menghasilkan kesimpulan bahwa jenis pangan pokok yang diminati masyarakat Jawa Barat pasca krisis ekonomi adalah beras dan mie instant. Hal ini menunjukkan bahwa beras masih menjadi jenis pangan pokok yang paling diminati sedangkan mie instant yang bahan pokoknya gandum, tidak diproduksi di Indonesia, malah menjadi makanan pokok favorit kedua bagi masyarakat Jawa Barat. Meskipun penelitian yang dilakukan tidak berskala nasional namun hasil penelitian di Jawa Barat cukup membuka pandangan kita bahwa pola konsumsi pangan masyarakat masih monoton. Pemerintah telah mengupayakan diversifikasi pangan lokal seperti umbi-umbian, jagung, dan sagu untuk dalam rangka mengurangi konsumsi beras 1,5 persen per tahun. Tetapi faktanya, sebagaimana diberitakan Media Indonesia dalam kurun waktu semester pertama tahun 2011, pemerintah masih mengimpor sejumlah komoditas pangan seperti, beras, jagung, biji gandum dan meslin, tepung terigu, gula pasir, dll. dengan total volume 11,33 juta ton.
Solusi pertama untuk mewujudkan pola konsumsi pangan masyarakat yang seimbang adalah dengan mengurangi impor beras. Semakin sedikit impor beras maka peluang masyarakat untuk mengonsumsi bahan pangan lokal selain beras semakin besar sehingga pola konsumsi pangan masyarakat tidak monoton. Kedua, kebijakan pemerintah dalam pengadaan diversifikasi pangan lokal sudah cukup baik namun perlu adanya monitoring dan evaluasi dalam prakteknya untuk memastikan berjalannya program dan menghasilkan output/outcome yang jelas. Pemerintah, swasta, dan masyarakat perlu bekerjasama bagaimana mengolah sumber daya bahan pangan lokal selain beras seperti jagung, sagu, umbi-umbian, ikan segar, dll. untuk menghasilkan produk pangan yang diminati masyarakat. Ketiga, masyarakat juga perlu dicerdaskan melalui penyuluhan, promosi dan iklan, dan melalui program pemberdayaan masyarakat yang menekankan pola konsumsi pangan seimbang dengan memanfaatkan sumber daya pangan lokal. Sebagai negara agraris tentu kelaparan tidak akan terjadi karena sumber daya pangan lokal Indonesia jumlahnya banyak jika kita benar-benar memanfaatkannya.
Referensi :
Ariani, M dan Tri Bastuti P. Analisis Konsumsi Pangan Rumah Tangga Pasca Krisis Ekonomi Di Propinsi Jawa Barat. Diunduh 4 Oktober 2012, pukul 15.20 WIB.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI. 2010. Riset Kesehatan Dasar 2010.
Rudolf, W. 2011. Impor Pangan Indonesia Terus Naik. Diunduh 4 Oktober 2012, pukul 16.40 WIB.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H