Jejak Langkah merupakan novel ketiga dari Pramoedya Ananta Toer. Novel ini menceritakan tentang awal munculnya gerakan sosial modern di Hindia. Jejak langkah merupakan novel ketiga dari tetralogi buru yang diterbitkan pada tahun 1985 dan sudah dicetak sebanyak sembilan kali dan diterbitkan oleh Lentera Dipantara. Novel ini sudah beberapakali diterbitkan oleh berbagai versi misalnya edisi Amsterdam dengan judul Voetsporen pada tahun 1989-1991, ada pula edisi Jerman dengan judul Spur Der Scritte pada tahun 2002 dan lain sebagainya.
Tetralogi ini mengambil latar belakang gerakan nasional pada era kolonial, Jejak Langkah menceritakan gerakan perlawanan yang dilakukan pribumi. Kisah Minke dalam Jejak Langkah dilatarbelakangi tempat di Betawi, tempat ia melahirkan dan menjalankan Medan Priyayi, media pertama di Hindia. Dalam cerita ini, Minke memiliki peranan penting dalam perkembangan media dan organisasi yang ia rintis. Jejak Langkah mengisahkan benih-benih awal pergerakan nasional Indonesia. Melalui Minke, pembaca diperlihatkan proses lahir dan berkembangnya organisasi-organisasi generasi pertama pergerakan kaum pribumi di Hindia.
Minke mengawali kisahnya dengan pengalaman-pengalamannya selama dengan belajar di Stovia. Ia mendapatkan kawan-kawan baru. Kehidupannya terjamin, ia tidur di asrama dan mendapatkan uang saku setiap minggunya dari sekolah. Namun, pendidikan dokter yang ia jalankan tidak sesuai dengan harapannya. Sekolahnya memiliki peraturan yang sangat ketat sehingga mengekang kebebasannya. Selain itu, disekolahnya juga diwajibkan berpakaian sesuai dengan adat tempat ia berasal, yakni adat tradisional Jawa. Berbanding terbalik dengan kehidupannya di Eropa yang biasanya mengenakan pakaian ala Eropa dan memiliki kebebasan.
Saat berstatus siswa di Stovia, ia bertemu dengan gadis Tionghoa bernama Ang San Mei. Singkat cerita, mereka menjalin hubungan yang sangat dekat hingga kemudian akhirnya mereka menikah. Namun akhirnya Minke ditinggal mati oleh isterinya karena penyakit yang dideritanya. Pasca pernikahan mereka, pemikiran Minke menjadi semakin tajam dan kritis kepada Belanda. Ia terinspirasi dari beberapa hal gerakan angkatan muda di Tiongkok, perlawanan rakyat Philipina terhadap penjajahan Spanyol dan kemajuan pesat bangsa Jepang dalam menduduki belahan bumi utara. Saat itu ia terpacu untuk melakukan hal yang sama untuk pertama kalinya di Hindia.
Minke mendapatkan pencerahan saat ia mengikuti kuliah umum, dr. Wahidin Soedirohoesodo memberikan penekanan kepada murid-muridnya untuk berorganisasi. Dengan berorganisasi, maka golongan pribumi akan bangkit, memiliki kesadaran bangsa dan bangun dari tidurnya. Dari kuliah umum tersebut, Minke segera bergerak untuk membentuk organisasi. Alhasil terbentuklan sebuah organisasi Syarikat Priyayi. Bersamaan dengan itu, terbitlah koran mingguan Medan Priyayi yang menjadi tempat untuk menyalurkan pendapat, keluh kesah, sumber informasi, edukasi hukum, dan pengaduan hukum kaum pribumi.
Sesaat berselang, Minke mandapatkan tawaran dari kawannya Raden Tomo untuk bergabung dalam organisasainya yakni Budi Utomo. Tanpa ragu akhirnya Minke ikut bergabung dalam organisasi tersebut, tetapi kemudian ia memilih untuk keluar dari organisasai tersebut karena prinsip yang berbeda. Minke tetap berusaha memperjuangkan kaum pribumi melalui Medan Priyayi. Hingga suatu ketika ia menyadari bahwa pedagang merupakan orang-orang yang berpengaruh bagi kemajuan bangsa. Dari pemikirannya tersebut, kemudian Minke membentuk sebuah organisasi baru bernama Syarikat Dagang Islamiyah (SDI).
Syarikat Dagang Islamiyah ini kemudian berkembang dan menjadi organisasi besar dikawasan Asia Tenggara. SDI memiliki kekuatan dan pengaruh yang besar dalam lingkup Hindia. Kemajuan perkembangan organisasi ini berdampak pula bagi kaum pribumi untuk melakukan pergerakan perlawanan kepada kolonialisme Belanda. Oleh karena itulah, Minke semakin memiliki keyakinan yang penuh untuk mewujudkan impian dan harapannya yakni menggerakan kaum pribumi untuk melawan kolonialisme Belanda. Namun sayangnya kandas karena pemikiran blunder rekan-rekannya di Medan Priyayi.
Jurnalisme dan media dalam novel Jejak Langkah
Novel ketiga tetralogi Pramudya Ananta Toer dengan judul jejak langkah ini mengisahkan tentang perjalanan seorang pemuda Pribumi yang bergelar Raden Mas. Dirinya lebih sering dipanggil Minke. Minke disekolahkan oleh Pemerintah Jenderal Hindia-Belanda, Gubermen untuk melanjutkan sekolahnya di kedokteran di Batavia. Perjalanan Minke ke Batavia dengan menggunakan kereta uap.
Di dalam kereta ia duduk di kereta kelas I, ia hanya menemui orang-orang Eropa, tidak ada orang-orang pribumi. Baginya, Batavia adalah daerah modern yang merupakan ibukota Hindia, dibangun oleh Jenderal Jan Pieterz Coen. Kota ini sungguh amat modern. Dimana sudah ada sepeda-sepeda, delman, gerobak, sado, bendi, landau, victoria, dokar, yang semua merupakan persembahan peradaban pendatang beriringan di setiap jalan. Perkembangan modern nampak juga pada cokek, doger, gambang kromong, lenong dan keroncong.
Gedung-gedung besar dan kokoh, kereta indah-indah, semua menyemaraki pemandangan. Ciri-ciri kota modern ia berdiri atas ceceran lalu lintas kemakmuran, dan kebahagiaan, dan Minke sendiri menempatkan diri sebagai orang yang modern dengan masuk ke sekolah dokter. Masuk ke sekolah dokter, Minke masuk ke kelas eleve, dan dia harus mematuhi peraturan tata tertib STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen, sekolah pendidikan dokter untuk pribumi). Salah satu peraturan yang harus di patuhi adalah sebagai orang Jawa, dia harus berpakaian Jawa, seperti memakai destar, baju tutup, kain batik dan cakar ayam (tidak boleh beralas kaki).
Selama minke ada di sekolah dokter, di menjalani sekolahnya dengan baik dan menyusul ketertinggalannya dengan baik. Dalam masa belajarnya dia juga beberapa kali mendapat undangan penting dari Gubermen seperti pertemuan Tweede Kamer. Dalam pertemuan tersebut dibahas hal-hal seperti kekuasaan-kekuasaan, rodi, kerja bebas (Petani Pribumi).
Semasa di Surabaya Minke memiliki teman tiong hoa yang kini sudah meninggal, dan sebelum meninggal ia menitipkan surat pada minke untuk disampaikan pada sahabatnya yang berada di batavia. Setelah sekian lama minke baru sempat mencari sahabat dari teman tiong hoanya yang bernama Ang San Mei. Kemudian dicarinya Ang San Mei, pertama dikira Ang san Mei itu adalah seorang pria dan ternyata ia adalah seorang wanita kurus dan cantik. Kemudian Minke terpesona dengan kecantikan Mei, pasca itu mereka kerap kali bertemu lagi dan akhirnya timbul cinta antara mereka yang akhirnya menjadikan mereka berdua menikah.
Dalam pernikahannya Mei sudah sering kali berbicara pada Minke untuk membuat Organisasi. Seperti saat adanya kuliah umum yang diadakan oleh alumnus dari pensiunan dokter jawa di jogja, kata dokter “Bagi orang intelegent orang cerdas bukan hanya berilmu dan berpengetahuan, tak mugkin terlepas perhastiannya dari masalah-masalah kehidupan, apalagi kehidupan yang vital, memikirkannya, memecahkannya dan menyumbangkan pikirannya.
Kehidupan yang vital terdiri dari kebahagianaan, kesengsaraan, kesejahteraan, keberuntungan, penderitaan, cinta dan kasih sayang, pengabdian, kebenaran, keadilan, dan kekuatan. Sebagai anak bangsa harus timbul kesadaran bangsa bukan kepingsanan bangsa”. Dalam kuliah umum itu intinya dokter jawa menyerukan untuk kaum intelektual khususnya calon dokter yang merupakan pengakses penduidikan tertinggi untuk membentuk suatu organisasi bagi penyelamat bangsa. Mei menunjukan ketertarikannya pada kuliah itu dan memberikan beberapa pertanyaan yang disampaikan melalui minke.
Suatu saat Mei pergi dari rumah ibu badrun dan pulang tengah malam tanpa seizin ibu badrun dan Minke, ternyata Mei telah menjalankan organisasi tiong hoanya. Organisasi untuk membela negaranya yang jauh disana. Lebih dari tiga bulan mei setiap hari pulang malam, dan kehidupan keluarga mereka seakan hampir hancur dikarenakan Mei sibuk dengan organisasainya dan Minke sibuk dengan perkuliahaannya. Pada saat itu Minke belum tertarik untuk membuat organisasai yang seperti diserukan dokter jawa dan mei. Sampai suatu saat mei jatuh sakit, dan sakit itu begitu parah yang sampai membuat diringya di panggil yang kuasa.
Setelah kepergian Mei untuk selamanya Minke mendapat keputusan dari sekolah dokter bahwa ia dipecat dan harus mengganti uang yang telah ia gunakan selama di sekolah dokter. Lepas dari sekolahnya ia hidup sendiri dan mulai merasa kesepian. Kemauan Minke untuk membuat gerakan sosial modern mulai muncul ia memulai dengan membaca surat-surat dari Ter Haar yang menceritakan kejadian yang dialami oleh pribumi di Bali serta kegigihan rakyat Aceh saat perang Aceh dan perkataan Mei tentang organisasi modern Tiong Hoa Hwe yang membela bangsanya.
Kemudian Minke mulai membuat tulisan tentang gerakan sosial modern yang ia cita-citakan dan mengirimkan tulisan itu kebeberapa alamat seperti ke para bupati dan gubermen. Salah satu bupati yang memberi respon positif terhadap tulisan itu adalah bupati Serang. Minke memutuskan menemuhi bupati Serang yang dianggap Minke memiliki tujuan sama sehingga dapat mewujudkan gerakan sosial yang diharapkannya. Namun hasil yang Minke dapat berbeda dengan harapannya Bupati itu ternyata merespon jauh dari isi surat yang dikirimkan ke Minke. Ternyata dulu dokter Jawa juga pernah menemuhinya dan mendapatkan jawaban yang sama seperti yang didapatkan Minke.
Semangat Minke belum luntur ia menulis lagi dan mengirimkannya ke berbagai penjuru tidak hanya di Betawi bahkan sampai Jawa dan Aceh ia mendapat dukungan kembali dari para priyai. Ia menemui seorang gubermen dan ia menyarankan untuk bertemu seorang dermawan bernama Thamrin Muhammad Tabri yang mendukung berdirinya gerakan sosial ini dan ia menyarankan untuk memberi nama gerakan ini serikat. Berawal dari pertemuan ini diadakan pertemuan besar yang didatangi oleh para priyai dan seluruh rakyat didaptkan keputusan dengan nama gerakan serikat priyai dengan ketua Thamrin muhammad tabri dan sekerterisnya Minke.
Serikat priyai memiliki sebuah majalah mingguan sebagai media untuk menyerukan gerakan sosial modern ini yang bernama Medan, di majalah ini seluruh rakyat dapat menyuarakan ketidakadilan yang mereka alami dan segala penindasan yang terjadi pada pribumi. Inilah majalah pertama yang bukan miliki Hindia dan bukan miliki Tiong Hwa melainkan miliki rakyat Hindia.
Tidak lama setelah serikat priyai berdiri Minke diundang bertemu dengan gubermen Van Heutz di Buitenzorg yang sekarang Bogor untuk diajak bekerjasama, dan masalah modal Gubernur Jenderal Guberman yang akan menanggung. Organisasi pertama yang telah diusungnya, yaitu Syarikat Priyayi tidak bisa lagi bergerak, dimana angota-angotanya merupakan para priyayi yang statis, tak punya inisiatif, tidak punya gairah hidup, dan ingin menghabiskan hidup dengan tenang dalam dinas Guberman.
Kejadian-kejadian besar semakin bermunculan, pemerintah Van Heutsz sarat akan kekerasa, dimana terjadi pemberontakan petani, yaitu golongan Samin di Jawa Tengah. Di Klungkung Bali kompeni melancarkan serangannya besar-besar. Korban berjatuhan, nyawa dalam hitungan detik telah tergeletak bersimbah darah, dan desa-desapun berjatuhan satu demi satu. Di Minangkabau terjadi pemberontakan baru menolak rodi dan pajak.
Kemudian pemberontakan dan gerakan perlawanan yang terjadi di daerah-daerah lainnya di Hindia. Dalam tiga bulan koran pribumi telah terbit dengan di bantu Frischboten. ‘Medan’ sebagai koran pribumi kini telah terbit di jalan Naripan I, Bandung. Tempat ini selalu ramai dengan orang-orang yang mengeluhkan penindasan, perampasan hak milik, penganiayaan atas diri mereka oleh para pembesar dan Pejabat Guberman. Penerbitan koran pun semakin genjar dilakukan Minke. Namun ada hal yang masih menadi gulana hatinya, yaitu organisasi.
Utusan Raden Tomo kemudian menemui Minke, dan membicarakan bentukan organisasi selanjutnya. Tomo dan teman-teman sekolahnya telah membentuk organisasi Budi Oetomo yang terdiri dari orang-orang jawa anggotanya, karena kita satu asal, satu nenek moyang, satu peradaban dan satu perasaan. Organisasi Budi Oetomo telah berhasil melakukan propagandanya. Beberapa komite Budi Oetomo telah lahir di Jawa Tengah dan jawa Timur.
Budi Oetomo lahir ditengah siswa-siswa sekolah Dokter STOVIA yang melahirkan priyayi-priyayi, yang hidup ditengah masyarakat dan mendambakan masyarakat terpelajar mendatang. Berbeda dengan Syarikat Priyayi yang bentuk karena terilhami oleh dokter jawa, dan organisasi ini lahir dan mati ditengah priyayi. Serikat Priyayi dan Budi Utomo kedua organisasi ini masih berjalan, koran medan dan penerbitnya masih dikelola oleh Sandiman dan teman-temannya sedangkan Minke sendiri pada waktu itu ditangkap oleh polisi dan ditahan di Pulau yang tidak diketahui berada di Pulau luar Jawa.
Realita media dan jurnalis Indonesia pada era globalisasi
Gerakan sosial yang terbentuk dari organisasi dikisahkan dalam Jejak Langkah memperlihatkan kita tentang sejarah pergerakan organisasi pada zaman kolonialisme Belanda. Pram menggambarkan situasi dengan latarbelakang tanah Betawi dan memposisikan peran Minke sebagai sosok yang membawa perubahan dalam berorganisasi. Syarikat Priyayi dalam kisah ini menciptakan perlawanan dengan penerbitan media yang bernama Medan Priyayi. Media ini menjadi wadah bagi kaum pribumi untuk melawan melalui media jurnalis.
Jejak Langkah mendeskripsikan bahwa media pada saat itu dapat menjadi alat perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Jurnalis memperjuangkan hak-hak kaum pribumi melalui media Medan Priyayi. Namun jika kita telaah kini, peran media lebih banyak di isi kepentingan para penguasa. Media lebih banyak dimiliki oleh segelintir penguasa. Jejak Langkah merupakan sebuah bentuk kritis terhadap media di Indonesia pada era globalisasi.
Media jurnalistik di Indonesia saat ini berbeda dengan media-media yang diceritakan dalam novel Jejak Langkah karya Pramoedya ini. Media merupakan suatu bentuk komunikasi massa yang mampu menyediakan kebutuhan akan informasi yang cepat atas peristiwa apa yang sedang terjadi. Media juga menjadi elemen penting dalam sebuah negara demokrasi. Peranan media diperuntukan untuk melakukan transfer informasi secara timbal balik atau komunikasi dua arah.
Tetapi, melihat kenyataan yang terjadi saat ini, media massa telah dijadikan sebagai sarana monopoli bagi individu yang sedang berkuasa, sehingga hal tersebut akan mengakibatkan masyarakat menjadi kebingungan dalam hal penerimaan informasi. Maka dari itu, kebenaran atas informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat pun juga akan berkurang kapasitasnya. Pada akhirnya, pencitraan yang ada tidak lagi bebicara tentang benar dan salah, atau pun layak dan tidak layak, sehingga segala macam bentuk analisis atau pun interpretasi bisa saja benar dan bahkan bisa saja salah. Selain itu, hal ini juga dapat menyesatkan opini publik dalam menilai suatu peristiwa yang telah terjadi dan juga sedang berlangsung disaat yang bersamaan. Hal tersebut dapat dilihat dari peranan dan nilai media di Indonesia yang mengalami pergeseran.
Media Indonesia saat ini telah di pegang dan dikendalikan oleh beberapa orang yang memiliki kepentingan politik di dalamnya. Media di Indonesia sekarang sudah mulai kehilangan netralitasnya. Sebagai contoh dapat dilihat media saat ini banyak diisi oleh kepentingan-kepentingan dari calon presiden sebagai salah satu media kempanye. Banyak media membandingkan kedua kandidat calon Presiden dalam pemilu 2014 ini.
Masing-masing media memiliki peran tersendiri dan cenderung membela salah satu pihak dari calon tersebut. Bisa kita lihat Metro TV lebih memihak dan mencitrakan sosok Jokowi dan Jusuf Kalla, sedangkan TV One, ANTV, MNC TV lebih memihak Prabowo dan Hatta Radjasa. Hal tersebut dipengaruhi oleh orang-orang atau pemilik media tersebut memihak salah satu calon presiden, sehingga mereka akan menggunakan berbagai cara untuk membuat pencitraan di dalamnya.
Novel ketiga tetralogi Pramudya Ananta Toer dengan judul Jejak Langkah ini mengisahkan tentang perjalanan seorang pemuda Pribumi yang bernama Minke. Minke disekolahkan oleh Pemerintah Jenderal Hindia-Belanda, Gubermen untuk melanjutkan sekolahnya di kedokteran di Batavia. Minke masuk ke kelas eleve, dan dia harus mematuhi peraturan tata tertib STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen, sekolah pendidikan dokter untuk pribumi). Salah satu peraturan yang harus di patuhi adalah sebagai orang Jawa, dia harus berpakaian Jawa, seperti memakai destar, baju tutup, kain batik dan cakar ayam (tidak boleh beralas kaki).
Dalam masa belajarnya dia juga beberapa kali mendapat undangan penting dari Gubermen seperti pertemuan Tweede Kamer. Dalam pertemuan tersebut dibahas hal-hal seperti kekuasaan-kekuasaan, rodi, kerja bebas (Petani Pribumi). Pada pertemuan itu Minke mendapat kesempatan untuk bertanya kepada pembesar yang hadir yang dalam hal ini adalah General van Heutsz and Ir. Van Kollewijn. Kesempatan ini tidak di sia-siakan oleh Minke untuk melontarkan kritik pedasnya.
Ketika diskusi menyangkut kerja bebas Minke bertanya “tentang kerja bebas itu, yang terhormat Anggota Tweede Kamer, apa juga bebarti bebas mengucil dan mengusir petani yang tak mau menyewakan tanahnya pada pabrik gula?”. Pertanyaan tersebut anggota Tweede Kamer yang hadir khususnya Ir. Van Kollewijn. Tentu saja hal ini membuat berang yang ditanya yang menjadikan pertemuan itu menjadi memanas. Itulah Minke, yang selalu mampu menarik perhatian para penjajah kolonial. Dalam masa sekolahya Minke bertemu dengan Mei dan dari Mei dia terinspirasi mendirikan organisasi yang bernama Syarikat Priyayi setelah dia dikeluarkan dari STOVIA.
Dalam novel jejak langkah ini organisasi yang dibentuk Minke menjadi salah satu pelopor terbentuknya gerakan sosial yaitu pergerakan organisasi pada zaman kolonialisme Belanda. Pram menggambarkan situasi dengan latarbelakang tanah Betawi dan memposisikan peran Minke sebagai sosok yang membawa perubahan dalam berorganisasi. Syarikat Priyayi dalam kisah ini menciptakan perlawanan dengan penerbitan media yang bernama Medan Priyayi. Media ini menjadi wadah bagi kaum pribumi untuk melawan melalui media jurnalis. Jejak Langkah mendeskripsikan bahwa media pada saat itu dapat menjadi alat perlawanan terhadap kolonialisme Belanda.
Media jurnalistik di Indonesia saat ini berbeda dengan media-media yang diceritakan dalam novel Jejak Langkah karya Pramoedya ini. Peranan media diperuntukan untuk melakukan transfer informasi secara timbal balik atau komunikasi dua arah. Tetapi, melihat kenyataan yang terjadi saat ini, media massa telah dijadikan sebagai sarana monopoli bagi individu yang sedang berkuasa, sehingga hal tersebut akan mengakibatkan masyarakat menjadi kebingungan dalam hal penerimaan informasi.
Pada akhirnya, pencitraan yang ada tidak lagi bebicara tentang benar dan salah, atau pun layak dan tidak layak, sehingga segala macam bentuk analisis atau pun interpretasi bisa saja benar dan bahkan bisa saja salah. Hal tersebut dapat dilihat dari peranan dan nilai media di Indonesia yang mengalami pergeseran. Media Indonesia saat ini telah di pegang dan dikendalikan oleh beberapa orang yang memiliki kepentingan politik di dalamnya. Media di Indonesia sekarang sudah mulai kehilangan netralitasnya.
Tercermin dari media yang ada saat ini dikuasai oleh segelintir orang dimana didalamnya memiliki kepentingan dan menjadikan media tersebut sebagai wadah penyalur kebutuhan. Dari berbagai penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa dengan adanya kepemilikan media massa yang termonopoli, maka akan berakibat pada perubahan kebijakan dan tujuan dari media itu sendiri. Adanya monopoli media massa juga dapat mengakibatkan homogenitas pemberitaan dan informasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H