Dalam masa belajarnya dia juga beberapa kali mendapat undangan penting dari Gubermen seperti pertemuan Tweede Kamer. Dalam pertemuan tersebut dibahas hal-hal seperti kekuasaan-kekuasaan, rodi, kerja bebas (Petani Pribumi). Pada pertemuan itu Minke mendapat kesempatan untuk bertanya kepada pembesar yang hadir yang dalam hal ini adalah General van Heutsz and Ir. Van Kollewijn. Kesempatan ini tidak di sia-siakan oleh Minke untuk melontarkan kritik pedasnya.
Ketika diskusi menyangkut kerja bebas Minke bertanya “tentang kerja bebas itu, yang terhormat Anggota Tweede Kamer, apa juga bebarti bebas mengucil dan mengusir petani yang tak mau menyewakan tanahnya pada pabrik gula?”. Pertanyaan tersebut anggota Tweede Kamer yang hadir khususnya Ir. Van Kollewijn. Tentu saja hal ini membuat berang yang ditanya yang menjadikan pertemuan itu menjadi memanas. Itulah Minke, yang selalu mampu menarik perhatian para penjajah kolonial. Dalam masa sekolahya Minke bertemu dengan Mei dan dari Mei dia terinspirasi mendirikan organisasi yang bernama Syarikat Priyayi setelah dia dikeluarkan dari STOVIA.
Dalam novel jejak langkah ini organisasi yang dibentuk Minke menjadi salah satu pelopor terbentuknya gerakan sosial yaitu pergerakan organisasi pada zaman kolonialisme Belanda. Pram menggambarkan situasi dengan latarbelakang tanah Betawi dan memposisikan peran Minke sebagai sosok yang membawa perubahan dalam berorganisasi. Syarikat Priyayi dalam kisah ini menciptakan perlawanan dengan penerbitan media yang bernama Medan Priyayi. Media ini menjadi wadah bagi kaum pribumi untuk melawan melalui media jurnalis. Jejak Langkah mendeskripsikan bahwa media pada saat itu dapat menjadi alat perlawanan terhadap kolonialisme Belanda.
Media jurnalistik di Indonesia saat ini berbeda dengan media-media yang diceritakan dalam novel Jejak Langkah karya Pramoedya ini. Peranan media diperuntukan untuk melakukan transfer informasi secara timbal balik atau komunikasi dua arah. Tetapi, melihat kenyataan yang terjadi saat ini, media massa telah dijadikan sebagai sarana monopoli bagi individu yang sedang berkuasa, sehingga hal tersebut akan mengakibatkan masyarakat menjadi kebingungan dalam hal penerimaan informasi.
Pada akhirnya, pencitraan yang ada tidak lagi bebicara tentang benar dan salah, atau pun layak dan tidak layak, sehingga segala macam bentuk analisis atau pun interpretasi bisa saja benar dan bahkan bisa saja salah. Hal tersebut dapat dilihat dari peranan dan nilai media di Indonesia yang mengalami pergeseran. Media Indonesia saat ini telah di pegang dan dikendalikan oleh beberapa orang yang memiliki kepentingan politik di dalamnya. Media di Indonesia sekarang sudah mulai kehilangan netralitasnya.
Tercermin dari media yang ada saat ini dikuasai oleh segelintir orang dimana didalamnya memiliki kepentingan dan menjadikan media tersebut sebagai wadah penyalur kebutuhan. Dari berbagai penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa dengan adanya kepemilikan media massa yang termonopoli, maka akan berakibat pada perubahan kebijakan dan tujuan dari media itu sendiri. Adanya monopoli media massa juga dapat mengakibatkan homogenitas pemberitaan dan informasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H