Mohon tunggu...
Andra Gunawan
Andra Gunawan Mohon Tunggu... -

Jadikan kata sebagai senjata!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Analisis Novel Jejak Langkah (Pergerakan Sosial-Modern Pada Masa Kolonial)

2 Juli 2015   13:01 Diperbarui: 4 April 2017   16:14 4237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jejak Langkah merupakan novel ketiga dari Pramoedya Ananta Toer. Novel ini menceritakan tentang awal munculnya gerakan sosial modern di Hindia. Jejak langkah merupakan novel ketiga dari tetralogi buru yang diterbitkan pada tahun 1985 dan sudah dicetak sebanyak sembilan kali dan diterbitkan oleh Lentera Dipantara. Novel ini sudah beberapakali diterbitkan oleh berbagai versi misalnya edisi Amsterdam dengan judul Voetsporen pada tahun 1989-1991, ada pula edisi Jerman dengan judul Spur Der Scritte pada tahun 2002 dan lain sebagainya.

Tetralogi ini mengambil latar belakang gerakan nasional pada era kolonial, Jejak Langkah menceritakan gerakan perlawanan yang dilakukan pribumi. Kisah Minke dalam Jejak Langkah dilatarbelakangi tempat di Betawi, tempat ia melahirkan dan menjalankan Medan Priyayi, media pertama di Hindia. Dalam cerita ini, Minke memiliki peranan penting dalam perkembangan media dan organisasi yang ia rintis. Jejak Langkah mengisahkan benih-benih awal pergerakan nasional Indonesia. Melalui Minke, pembaca diperlihatkan proses lahir dan berkembangnya organisasi-organisasi generasi pertama pergerakan kaum pribumi di Hindia.

Minke mengawali kisahnya dengan pengalaman-pengalamannya selama dengan belajar di Stovia. Ia mendapatkan kawan-kawan baru. Kehidupannya terjamin, ia tidur di asrama dan mendapatkan uang saku setiap minggunya dari sekolah. Namun, pendidikan dokter yang ia jalankan tidak sesuai dengan harapannya. Sekolahnya memiliki peraturan yang sangat ketat sehingga mengekang kebebasannya. Selain itu, disekolahnya juga diwajibkan berpakaian sesuai dengan adat tempat ia berasal, yakni adat tradisional Jawa. Berbanding terbalik dengan kehidupannya di Eropa yang biasanya mengenakan pakaian ala Eropa dan memiliki kebebasan.

Saat berstatus siswa di Stovia, ia bertemu dengan gadis Tionghoa bernama Ang San Mei. Singkat cerita, mereka menjalin hubungan yang sangat dekat hingga kemudian akhirnya mereka menikah. Namun akhirnya Minke ditinggal mati oleh isterinya karena penyakit yang dideritanya. Pasca pernikahan mereka, pemikiran Minke menjadi semakin tajam dan kritis kepada Belanda. Ia terinspirasi dari beberapa hal gerakan angkatan muda di Tiongkok, perlawanan rakyat Philipina terhadap penjajahan Spanyol dan kemajuan pesat bangsa Jepang dalam menduduki belahan bumi utara. Saat itu ia terpacu untuk melakukan hal yang sama untuk pertama kalinya di Hindia.

Minke mendapatkan pencerahan saat ia mengikuti kuliah umum, dr. Wahidin Soedirohoesodo memberikan penekanan kepada murid-muridnya untuk berorganisasi. Dengan berorganisasi, maka golongan pribumi akan bangkit, memiliki kesadaran bangsa dan bangun dari tidurnya. Dari kuliah umum tersebut, Minke segera bergerak untuk membentuk organisasi. Alhasil terbentuklan sebuah organisasi Syarikat Priyayi. Bersamaan dengan itu, terbitlah koran mingguan Medan Priyayi yang menjadi tempat untuk menyalurkan pendapat, keluh kesah, sumber informasi, edukasi hukum, dan pengaduan hukum kaum pribumi.

Sesaat berselang, Minke mandapatkan tawaran dari kawannya Raden Tomo untuk bergabung dalam organisasainya yakni Budi Utomo. Tanpa ragu akhirnya Minke ikut bergabung dalam organisasi tersebut, tetapi kemudian ia memilih untuk keluar dari organisasai tersebut karena prinsip yang berbeda. Minke tetap berusaha memperjuangkan kaum pribumi melalui Medan Priyayi. Hingga suatu ketika ia menyadari bahwa pedagang merupakan orang-orang yang berpengaruh bagi kemajuan bangsa. Dari pemikirannya tersebut, kemudian Minke membentuk sebuah organisasi baru bernama Syarikat Dagang Islamiyah (SDI).

Syarikat Dagang Islamiyah ini kemudian berkembang dan menjadi organisasi besar dikawasan Asia Tenggara. SDI memiliki kekuatan dan pengaruh yang besar dalam lingkup Hindia. Kemajuan perkembangan organisasi ini berdampak pula bagi kaum pribumi untuk melakukan pergerakan perlawanan kepada kolonialisme Belanda. Oleh karena itulah, Minke semakin memiliki keyakinan yang penuh untuk mewujudkan impian dan harapannya yakni menggerakan kaum pribumi untuk melawan kolonialisme Belanda. Namun sayangnya kandas karena pemikiran blunder rekan-rekannya di Medan Priyayi.

Jurnalisme dan media dalam novel Jejak Langkah

Novel ketiga tetralogi Pramudya Ananta Toer dengan judul jejak langkah ini mengisahkan tentang perjalanan seorang pemuda Pribumi yang bergelar Raden Mas. Dirinya lebih sering dipanggil Minke. Minke disekolahkan oleh Pemerintah Jenderal Hindia-Belanda, Gubermen untuk melanjutkan sekolahnya di kedokteran di Batavia. Perjalanan Minke ke Batavia dengan menggunakan kereta uap.

Di dalam kereta ia duduk di kereta kelas I, ia hanya menemui orang-orang Eropa, tidak ada orang-orang pribumi. Baginya, Batavia adalah daerah modern yang merupakan ibukota Hindia, dibangun oleh Jenderal Jan Pieterz Coen. Kota ini sungguh amat modern. Dimana sudah ada sepeda-sepeda, delman, gerobak, sado, bendi, landau, victoria, dokar, yang semua merupakan persembahan peradaban pendatang beriringan di setiap jalan. Perkembangan modern nampak juga pada cokek, doger, gambang kromong, lenong dan keroncong.

Gedung-gedung besar dan kokoh, kereta indah-indah, semua menyemaraki pemandangan. Ciri-ciri kota modern ia berdiri atas ceceran lalu lintas kemakmuran, dan kebahagiaan, dan Minke sendiri menempatkan diri sebagai orang yang modern dengan masuk ke sekolah dokter. Masuk ke sekolah dokter, Minke masuk ke kelas eleve, dan dia harus mematuhi peraturan tata tertib STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen, sekolah pendidikan dokter untuk pribumi). Salah satu peraturan yang harus di patuhi adalah sebagai orang Jawa, dia harus berpakaian Jawa, seperti memakai destar, baju tutup, kain batik dan cakar ayam (tidak boleh beralas kaki).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun