Mohon tunggu...
A. S. Narendra
A. S. Narendra Mohon Tunggu... Administrasi - Tunggu sebentar, tulisan belum selesai diketik...

Jika kau bukan anak raja dan bukan anak Ulama besar, maka menulislah. --Imam Ghazali.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kasus MA, Pengalihan Isu BBM?

1 November 2014   07:55 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:58 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kasus MA menjadi polemik yang berkepanjangan hingga membuat beberapa orang prihatin. Seorang pengamat politik yang merangkap kader partai tertentu memberikan pertanyaan berat untuk kita semua. Pertanyaan yang diabadikan dalam judul di atas itu muncul di akun fanpage Beliau. Apa betul kasus MA adalah pengalihan isu BBM belaka?

[caption id="attachment_371105" align="aligncenter" width="500" caption="Hipotesis Jonru tentang MA (dok.pri.)"][/caption]

Pertanyaan yang dilontarkan oleh Jonru, sang pengamat politik tersebut memikat Dudih A. Zuhud, seorang profesor dari Universitas Padjajaran untuk mengomentarinya.

Bagaimanapun, Jonru adalah nabi di era new media. Para penganut aliran Jonruisme dengan senang hati menunggu status yang dibuat oleh seorang bapak yang memberi makan keluarganya dengan menulis itu. Menulis apa, silahkan telaah sendiri. Paham Jonruisme tersebut, seperti yang pernah muncul di artikel sebelumnya, Terima Kasih Jonru, Kaulah Inspirasiku adalah sebuah paham yang dikemukakan oleh Akhmad Sahal, seorang fellow, Ash Center, Harvard Kennedy School, Pengurus Cabang Istimewa NU Amerika, dalam sebuah twit.

[caption id="attachment_371110" align="aligncenter" width="403" caption="Twit Akhmad Sahal tentang Jonruisme. (dok.pri.)"]

1414774747607325399
1414774747607325399
[/caption]

Lain lagi komentar seorang teman SMP dan SMA tentang suatu status FB dari Twitter yang berbunyi. "Sehebat apapun ilmu yg dimiliki seseorang, tiada guna apabila masih menganggap diri paling sempurna. Itu artinya ia msh blm mengenal ‪#‎cinta‬". Perdebatan mengarah pada kelakuan penjelek-jelekkan pada Jkw (baca: Jokowi). Komentar dalam screenshot dibawah ini memunculkan istilah cognitif bias. Kata cognitive bias yang terdapat di komentar itu berarti:

Pattern of deviation in judgment, whereby inferences about other people and situations may be drawn in an illogical fashion. Individuals create their own “subjective social reality” from their perception of the input (wikipedia). Apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia artinya pola penyimpangan dalam penilaian, dimana kesimpulan tentang orang lain dan situasi dapat ditarik dengan cara tidak logis. Individu membuat sendiri "realitas sosial subjektif" mereka dari persepsi mereka tentang input (wikipedia).

[caption id="attachment_371112" align="aligncenter" width="482" caption="Berbalas komen dengan Yusri Abdillah (dok.pri.)"]

1414775089399676898
1414775089399676898
[/caption]

Pertanyaan di atas tidak semuanya berbalas, terutama pertanyaan tentang dampak pada umat di kedua belah pihak, apalagi pertanyaan terakhir. Teman SMP & SMA itu rupanya mencoba mengusik agar bersikap lebih kritis, waspada, dan tetap ingat pada Sang Pencipta agar tidak merasa paling benar. Astagfirullah...

Kembali ke topik dalam judul, apabila memang masih sibuk berkutat dengan kasus MA, alangkah nestapanya bangsa ini, terlena dan secara tidak sadar menganut paham Jonruisme. Bias kognitif yang menjadi penjelasan munculnya paham Jonruisme tersebut bisa terjadi pada siapa saja, terutama pada umat Jonru yang memiliki kapasitas kognitif terbatas. Kaum seperti mereka bagaikan buih di laut, begitu mudahnya diterbangkan angin yang dihembuskan dari mulut sang peniup. Rizal, seorang rekan lain memberi usul kepada Presiden Jokowi untuk membentuk Kementerian baru, yaitu Kementerian Pola Pikir Tertinggal. Menterinya, tentu saja hanya Sang Presiden yang tahu, itupun apabila usul Rizal dikabulkan.

Kasus MA juga menjadi bahan renungan pernyataan seorang anggota DPR Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Gerindra Martin Hutabarat, yang menyebutkan bahwa setelah pasal yang mengatur penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden di KUHP dicabut oleh Mahkamah Konstitusi, tindakan penghinaan kepada kepala negara sulit diproses hukum. Martin juga menambahkan:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun