Satu-persatu para orang tua itu terusir dari rumah-rumah yang telah melahirkan banyak orang dengan segudang ilmu dan pengetahuan. Mereka para guru, pendidik, dosen yang terkhianati. Di usia senja yang seharusnya lebih layak dihormati, tetapi mereka justru dizolimi oleh bisnis murka berkedok pendidikan. Celakanya para penzolim itu adalah para anak didik yang tak tahu malu, lupa diri dan telah terbutakan matanya.
Satu dua rumah mencoba bertahan tetapi tak kuasa menghadapi alat-alat berat yang siap menjadikan puing rumah itu. Mesin-mesin pembangun gedung pencakar langit itu sudah menghimpit rumah-rumah renta. Bapakku salah satunya. Ia menunggu kebijakan yang tiada tiba. Ia bak last man standing di situ.
Tak bisa bicara apa-apa, ketika hukum tak bisa lagi jadi pedang. Tumpul ke atas, tajam ke bawah, mengikis hati para guru dan sebagian mahaguru. Sebagai timbangan, hukum telah condong kepada penguasa.
Bapakku tetap bicara lewat tulisan-tulisannya. Tentang perumahan hijau dan guyub, yang diterjang oleh bulldozer. Tentang seorang profesor yang meninggal di saat ia membela haknya. Ia mengeluarkan segala uneg melalui tinta dan kertas. Kegerahan hatinya diungkapkan lewat hening dan sunyi.
Kini, perumahan itu sudah tiada. Hilang ditelan bumi dan berganti gedung. Ambisi bisnis telah menggantikannya. Tetapi kisah-kisahnya selalu terngiang dari kawan-kawan yang telah merantau atau berpindah ke mana-mana. Fakta-faktanya masih bisa disimak lewat foto-foto usang. Banyak yang direkam oleh Bapakku.
Bapakku merelakannya. Sudah sampai pada titik kepasrahan yang paling tinggi ketika haknya dirampas. Kemudian tidak pula dinilai jasanya. Bahkan tak ada bantuan ketika para orang tua itu hendak berpindah. Mereka didepak, diusir begitu saja. Â
Bapakku membawa ikhlas. Sebab, ia tahu sebesar apapun tekanan itu, ketika dihadapi dengan perangkat duniawi jenis manapun, sudah pasti kekuasaanlah yang menjadi pemenang.
Maka ia menjalani proses hukum yang produk manusia itu dengan tenang. Ia lebih banyak mengucap syukur atas semua proses legal itu, kendati lebih sering datang berita tak membahagiakan. Lagi-lagi ia tak pernah bilang kepada kami. Tetapi cukuplah dengan senyumnya, kami dapat memahami pensyukurannya. Padahal hati kami membuncah, penuh amarah dan ingin rasanya merobek mulut para penguasa lembaga pendidikan itu.
Senyum itu selalu menjadi pertanda bahwa ia baik-baik saja. Seperti setiap pagi ketika ia meladeni beragam tanaman. Baginya tanaman pun layak mendapat perawatan sebagaimana mahluk Tuhan. Ia begitu mengagumi ribuan tanaman lokal, sampai kemudian mencoba mengoleksinya. Setiap tanaman layak hidup karena memiliki manfaat dan khasiat.
Jadi aneh kalau baru saat pandemi Covid-19 orang-orang panik gara-gara stok jahe yang menipis, kunyit yang susah dicari dan sebagainya. Bapakku sudah membuat dan meneliti sebanyak-banyaknya tumbuhan apotek hidup itu. Membuat klasifikasinya dan merancangnya sebagai khasanah tanaman lokal. Namun memang di saat orang-orang tidak merasa perlu atas kehadiran tanaman itu. Jadi tidak populer.
Populer? Apa artinya kepopuleran jika ia hanya sebatas menumpang hidup. Seperti halnya sebuah jabatan yang menempel sekelebat, dengan tanpa dijalankan sebagai sebuah amanah. Jangan mendekati apalagi meminta. Sebab pada jabatan itu ada tanggungjawab besar membawa jalan hidup orang-orang yang menyertai.
Nyaris kami bersuka ria ketika Bapakku menjadi calon kuat pembantu rektor. Orang nomor dua di lembaga pendidikan, dan efeknya tentu membuat keluarga menjadi populer. Lebih jauh lagi ada kemewahan-kemewahan sebagai imbal dari jabatan tersebut yang bakal kami nikmati.
Tetapi itu tidak terjadi. Bapakku memilih menghadiri pernikahan adiknya ketimbang menghadiri penobatannya. Baginya penghormatan untuk  keluarga jauh lebih bermakna, dari sekadar jabatan yang umurnya selintas itu.
Ketika dewasa kami baru memahami pilihan itu. Bahwa keputusan itu bukan soal penting atau tidak, tetapi ada beberapa makna yang kami tangkap. Ia memang seorang family man sejati. Kedua, ia tak mau terjebak di pusaran kekuasaan apalagi jika harus mengurus uang. Soal mengelola keuangan urusannya tak cuma duniawi. Kelak juga diminta pertanggungjawaban di depan Tuhan. Ketiga, bapakku memang tidak mau berada di pusat kekuasaan yang hanya akan memperlebar jarak dengan teman-temannya, dengan para mahasiswanya.
Sudah cukuplah ia hadir sebagai pembantu dekan hingga menjadi dekan yang berurusan dengan mahasiswa dan sering ia anggap sebagai anak-anaknya. Rumah kami sering hidup gara-gara dibolehkannya mahasiswa berdiskusi atau belajar di halaman yang penuh dengan tanaman botani. Momen-momen itu amat ia sukai.
Sampai-sampai ia rela mengejar para mahasiswanya yang tengah menggelar riset di sebuah taman nasional. Tidak ada perlakuan istimewa, ia tetap tidur bersama mereka. Ia sangat menikmati kebersamaan itu. Bahkan kabarnya ketika ia menjadi dekan, para senat pun sepakat akibat usulan dan dorongan dari mahasiswa.
Tetapi sebaliknya ia bisa sangat terpukul jika duka menyelimuti anak-anak didiknya. Malang menimpa salah seorang mahasiswa saat berlatih arung jeram. Korban tercebur dan terseret jeram. Berita itu sampai ke Bapak. Ia tak bisa tinggal dan menunggu kabar.
Kecemasannya amat terlihat. Ia turun ke lokasi pencarian dari pagi hingga malam. Begitu terus hingga tiga hari kemudian jenazah muncul. Bapakku mengantarkannya sampai penguburan selesai.
Tanggung jawab tak perlu diperlihatkan. Cukup diam, kerjakan dan tuntaskan. Sebagaimana saban tahun ia mengurusi ujian masuk perguruan tinggi. Memimpin proses yang akan menjadi gerbang masa depan lulusan SMA jelas ada beban. Mulai menjaga agar kertas-kertas soal itu tak bocor dan membuka  ketidakjujuran. Lalu, mengirimkan kertas hasil jawaban ribuan pendaftar ujian agar aman sampai di Jakarta.
Semua risiko telah ia perhitungkan. Merasa tanggung jawabnya diperhitungkan, ia turun sendiri menjaga pengiriman tumpukan kertas jawaban modal masa depan calon mahasiwa. Pun tidak ada peluang sedikitpun bagi siapa saja punya niat menyogok agar bisa lolos jarum seleksi. Tidak ada.
Setelah tuntas, ia pulang dengan segala penat di tubuhnya. Tetapi raut mukanya menandakan pensyukuran. Dan, lagi-lagi tersenyum.
Semua pekerjaan ia tuntaskan seberes-beresnya. Terlebih yang menyangkut hidup dan nasib orang banyak. Moral kemanusiannya seringkali memunculkan pertanyaan. Suatu kali ia bertanya lirih tentang seseorang yang bekerja untuk menghidupi dan menjaga keluarganya. Apa jadinya jika seorang bapak membawa hasil jerih payah seadanya dan tak bisa memberi nasib baik bagi keluarganya.
Jadi saban kali ia meminta bantuan tukang untuk membenahi sesuatu, bapakku akan memberikan uang lebih dari seharusnya. Benaknya akan muncul pertanyaan; apa cukup ia membawa uang hasil jerih payahnya? Apakah keluarganya bisa dapat sesuatu dari uang itu? Apakah ia masih bisa menabungnya? Begitu seterusnya....
Sepanjang hidupnya satu-persatu tanggung jawab dan moralitas ia lakukan semata demi kebaikan. Ia memilih memilih do it dan show it, bukan show it to atau show it off. Dan tidak perlu pula dengan speak it out, apalagi speak it loud.
Makanya, selalu senyap, sunyi, tetapi tampak jelas semua perlakuannya itu. Perlakuan dan perbuatannya itu mungkin tak sampai pada level sempurna. Namun itu sudah sebuah bentuk kebajikan, meski ia ajarkan dengan cara hening. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H