Mohon tunggu...
andra nuryadi
andra nuryadi Mohon Tunggu... Konsultan - bekerja 20 tahun lebih di media, memiliki laboratorium kreativitas konten

Creative Addiction; Media Practitioner; Journalist

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Benarkah Google, si Penenggelam Media Cetak?

9 Agustus 2021   17:00 Diperbarui: 9 Agustus 2021   19:45 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Benarkah susutnya pendapatan bisnis media cetak semata akibat hadirnya sejumlah OTT seperti Google atau Facebook? Apakah platform digital ini yang telah menggantikan distribusi konten kepada audience dan berlaku serupa di berbagai belahan dunia, sehingga orang tidak lagi mau membaca koran?

Ternyata tidak sepenuhnya benar. Accenture Consulting bekerjasama dengan Google melakukan  riset dengan sample beberapa negara di Eropa. Sejumlah perusahaan media papan atas di hampir seluruh Eropa Barat dipilih dan hasilnya menunjukkan, tergerusnya pendapatan perusahaan media justru akibat faktor lain.

Seperti diketahui pendapatan media khususnya koran terdiri dari tiga pilar, antara lain sirkulasi (oplag), iklan komersial (apapun bentuknya termasuk advertorial), dan iklan baris (klasifikasi).

Sejak 2003 hingga 2019, banyak media koran di Eropa Barat mengalami penurunan pendapatan.  Laporan Accenture (2021) memperlihatkan tahun 2003 pendapatan media koran masih sebesar  42,6 miliar euro. Selang 16 tahun kemudian pada 2019, turun tinggal 26,5 miliar euro.

Lantas, bagaimana peta kontribusi penurunan dari tiga pilar pendapatan?

Iklan komersial atau display jeblok dari 13,8 miliar euro (2003) menjadi tinggal 8 miliar euro (2019). Tetapi yang memukul telak adalah pendapatan dari iklan baris. Tahun 2003 masih 9,9 miliar euro, dan mengecil pada 2019 hanya  sebesar 2,8 miliar euro.

Bagaimana dengan pendapatan dari sirkulasi?

Tampaknya pilar ini justru paling sedikit anjlok. Ini adalah pilar dengan pendapatan terbesar ketimbang dua pilar lain, yang pada 2003 memberi 18,9 miliar euro. Sedang pada 2019 tercatat masih 15,7 miliar euro.

Jika dirinci, mulai penurunan sirkulasi hanya 3,2 miliar euro. Sementara iklan display dan baris total menurun sampai 12,9 miliar euro. Dan sumbangan terparah berasal dari iklan baris, 7,1 miliar euro. Dengan kata lain, Google tidak "mengambil" banyak pembaca media tersebut.

Ke mana larinya pendapatan iklan display? Ini lah yang diambil oleh Google atau Facebook dengan iklan digitalnya. Perusahaan multinasional sampai lokal membelanjakan iklannya di digital. Ada berbagai alasan, di antaranya karena karena sifat algoritma digital yang lebih terukur, lebih gampang menjangkau target audience, hingga kemudahan dalam menghitung return of ad spend (ROAS). Pendek kata, pengiklan ingin mendapatkan sesuatu yang baru di platform lain. 

Tetapi Google tidak "memakannya" sendirian. Lewat algoritmanya, Google juga berbagi kepada media. Namun musti "taat" SEO, optimasi mesin pecari dengan logika yang dibuatnya.

Sedang iklan baris perlahan-lahan dikikis oleh munculnya aplikasi layanan penjualan online yang lebih transparan, memuat lebih banyak informasi, langsung dan shareable, maupun interaktif.

 Penurunan pendapatan sirkulasi sebesar sekitar 16 persen boleh jadi karena telah terjadi shifting, dari pembaca konvensional ke digital. Walaupun bukan berarti lalu mereka lebih doyan mengkonsumsi media digital berupa konten-konten clickbait.

Buktinya, di tahun 2020 telah terjadi pertumbuhan konsumen koran digital (e-paper). Tidak hanya di Eropa, di Amerika pun serupa. Di negeri Paman Sam kisah sukses terjadi di koran terbesar di New York, New York Times pada laporan akhur Juni 2021 bilang, jumlah pelanggan versi digitalnya mencapai 7,1 juta, alias hampir 90 persen dari total pelanggan korannya yang sebanyak 7,8 juta. NYT bahkan menargetnya sampai akhir 2021, jumlah pelanggannya bisa menembus 8,5 juta.

Sedang bermimpikah NYT?

Tidak. Faktanya terjadi tren peningkatan jumlah pelanggan baru di saat pandemi. Selama tiga bulan (April - Juni 2021) teraih 142.000 pelanggan anyar. Walaupun menambah sekitar 700 ribu dalam tempo enam bulan adalah proyek ambisius. Tetapi ada banyak upaya yang tengah dilakukan NYT, termasuk mendekati calon pelanggan lewat jurus umum di dunia pemasaran. Umpamanya dengan "bermain-main" dengan memberi tarif istimewa sebesar 0,25 dolar (sekitar Rp 3.600,-) berlangganan koran digital selama seminggu. Dengan kocek tersebut sudah memperoleh konten  high quality journalism (istilah yang digunakan NYT), juga bonus akses ke beberapa fitur.

NYT punya tiga kelompok konten yang amat kuat. Antara lain; news, game dan cooking. Bagi NYT menjual berita saja tidak cukup sebagai "senjata" andal. Perlu dorongan dari dua kekuatan yang diminati masyarakat, yaitu permainan (NYT Games) dan konten masak-memasak (NYT Cooking) di mana di dalamnya tersedia beragam gift.

Hasilnya selama kuartal kedua 2021, pelanggan baru untuk news bertambah 77 ribu orang, dan 65 ribu pelanggan gres untuk games dan cooking. Dari seluruh proses bisnis ini, NYT meraup pendapatan sebesar 499 juta dolar selama April sampai Juni 2021. Ini melebihi ekspektasi para investornya, efeknya lagi nilai saham NYT di bursa mendaki 7,6 persen. Langkah-langkah tersebut terlepas sama sekali dari "peran" Google. NYT bekerja mandiri dengan mengoptimalkan konten.

Situasinya mungkin berbeda dengan di Indonesia. Sejak 2008, skema pendapatan media cetak telah berubah, termasuk koran. Pada saat itu sampai beberapa tahun kemudian, perolehan iklan berbalik melampaui pendapatan sirkulasinya. Dalam situasi demikian, memang sangat rentan kehilangan pendapatan yang lebih besar, ketika para pengiklannya berpindah ke digital. Sementara, pendapatan dari sirkulasi sudah tidak cukup kokoh menopang.  Bukankah pula bisnis yang sehat berbasis pelanggan, bukan faktor lain?

Kembali ke New York. Koran nomor dua, New York Post di akhir 2020 mencatat jumlah pelanggan sebanyak 3,2 juta, dan 2,5 juta di antaranya berlanganan versi digital. NYPost menutup 2020 dengan pembukuan pendapatan 2,4 miliar dolar.

Lalu memulai tahun 2021 dengan start bagus dan mengakhiri kuartal 1 2021 dengan capaian manis. Dari dua divisi surat kabar (New York Post dan London Sun) pendapatan naik 21 persen, dengan nominal sebesar 595 juta dolar.

Kunci utama New York Post adalah pada konsistensi konten dan berita. Robert Thomson, CEO sekaligus pemilik NYPost mengaku aset utamanya adalah para jurnalis NYPost yang kompeten dan bekerja keras.

"Wartawan kami bukan lapdogs (anjing gembala, RED)  dengan laptop. Wartawan kami bukan stenografer. Wartawan kami sadar akan tanggung jawab mereka yang besar," ujarnya.

Mungkin maksud Thomson, para jurnalis NYPost adalah para  watchdog bagi  penguasa negeri dan tidak suka mengekor maunya pembeli iklan. Pun, tidak duduk di depan laptop mencari-cari berita dari sosial media lalu dikemas menjadi berita pendek mengejar clickbait.

Di luar, pembaca pintar sudah mau menyisihkan kocek berlangganan high quality journalism. Walaupun dalam seminggu ongkos yang pelanggan keluarkan tidak lebih mahal dari harga dua bungkus mi instan. Tapi itu sudah menyelamatkan. Dan, bisnis media tetap independen, tanpa merasa terganggu oleh kehadiran Google. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun