Making Teachers 4.0
Â
Ketika menulis tulisan ini saya baru saja membaca dua artikel di sebuah surat kabar. Tulisan pertama memaparkan pentingnya 4 kompetensi yang harus dimiliki oleh guru dalam rangka membekali peserta didik pada tingkat pendidikan dasar dan menengah dengan keterampilan abad ke-21 yakni berpikir kritis, kolaboratif, komunikatif dan kreatif. Sedangkan tulisan kedua mengulas bagaimana mempersiapkan mahasiswa menghadapi era Revolusi Industri 4.0 yang sudah dicanangkan.
Bisa disimpulkan bahwa pendidikan merupakan gerbang atau wadah untuk mempersiapkan generasi penerus untuk memasuki era tersebut. Selain itu, disiratkan bahwa harus terbangun sinkronisasi dan kesinambungan antara pendidikan dasar dan menengah hingga pendidikan tinggi.Â
Output yang dihasilkan dari pendidikan dasar akan menjadi input/intake pada pendidikan tingkat menengah, demikian pula menengah ke tinggi dan dari pendidikan tinggi ke dunia kerja. Singkatnya, ada link and match yang dibangun.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2017 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru menjabarkan dengan jelas keempat kompetensi yang harus dimiliki (dan kembangkan) yakni kompetensi pedagogis, profesional, kepribadian dan  sosial.Â
Secara singkat, memiliki kompetensi pedagogis berarti guru akan mampu memahami peserta didik, merancang dan melaksanakan pembelajaran, mengevaluasinya sehingga dapat memaksimalkan potensi peserta didik.Â
Kompetensi profesional mengharuskan guru menguasai disiplin ilmu atau bidang studi yang diampunya pada hal mana proses pembelajaran di kelas bermuara. Berikutnya, sosok guru yang mencerminkan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, menunjukkan etos kerja dan menjunjung tinggi kode etik profesi diantaranya merupakan gambaran guru dengan kompetensi kepribadian yang didambakan. Sedangkan kompetensi sosial menuntut guru untuk diantaranya tidak diskriminatif, melainkan obyektif terhadap peserta didik, teman sejawat, dan lingkungan sekitar dan mampu berkomunikasi secara efektif, santun dan empatik.
Keempat kompetensi ini ditopang dengan keterampilan atau penguasaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang tidak bisa ditawar-tawar lagi mengingat perkembangan teknologi yang begitu cepat di era disruptif yang sudah terasa saat ini. Apalagi dengan karakteristik peserta didik zaman now yang disebut-sebut digital-native. Selain TIK, guru pun berkewajiban menerapkan pembangunan dan pengembangan karakater peserta didik yang kelak mampu bersaing di era Revoulusi 4.0.
Menerawang tren yang ada saat ini dan yang akan datang, Technopedagogical and Content Knowledge (TPACK) mengemuka sebagai salah satu alternatif dalam dunia pendidikan secara khusus para guru dalam rangka menyesuaikan sekaligus mempersiapkan diri terhadap tren tersebut.
TPACK merupakan istilah yang dimunculkan oleh P. Misra dan M. J. Koehler dengan mengembangkan gagasan Shulman di tahun 1980an. TPACK seperti merangkum semua kompetensi yang harus dimiliki dan dikembangkan oleh para guru.Â
Secara khusus, penguasaan dan keterampilan dalam TIK menjadi isu sentral pada era sekarang dan Revolusi 4.0 nantinya. Pemanfaatan teknologi dalam pembelajaran sudah merupakan 'sarapan' di kelas. Dengan hadirnya Internet, guru sudah bukan lagi sumber utama belajar, melainkan salah satunya. Sedangkan perihal pengetahuan pedagogis dan keilmuan/profesionalnya, bagi guru itu sudah menjadi keharusan.
Nah, bagaimana supaya guru memiliki TPACK (keempat kompetensi tersebut plus penguasaan TIK dan pengembangan karakter peserta didik) tersebut? Jawabannya, ada dua inisiator yang terlibat.
Inisiator pertama adalah guru yang bersangkutan. Tak pelak lagi, guru merupakan pembelajar sepanjang hayat disamping menjalankan tugas dan tanggung jawabnya mentransfer ilmu dan mendidik. Pendidikan yang diperoleh di perguruan tinggi menjadi modal dasar untuk mengaplikasikan ilmu dan pengalamannya. Tapi tentu saja itu belumlah cukup.
Guru diharapkan memiliki intrinsic motivation (motivasi dari diri sendiri) yang kuat untuk terus belajar. Beragam pilihan bisa ditempuh seperti studi lanjut, pelatihan, workshop, dan in-house training (IHT).Â
Tidak hanya secara tatap muka, pembelajaran pun kini bisa ditempuh secara daring atau online. Pengetahuan, pengalaman dan keilmuan dari guru yang terus belajar tak lekang oleh zaman dan tak akan lapuk oleh usia.Â
Dengan kata lain, jangan menjadi guru yang menghuni zona nyaman yang dikhawatirkan berujung pada situasi yang digambarkan oleh H. Douglas Brown sebagai fossilization, yakni situasi dimana guru tidak mau berubah atau diubah. Sebaliknya, cenderung teguh pada pola-pola mengajar yang itu-itu saja, sudah membatu alias fossilized.Â
Jika dalam dunia industri, Revolusi 4.0 diklaim menggerus perusahaan-perusahaan besar yang cenderung sulit untuk berubah (baca: berinovasi atau beradaptasi dengan zaman), maka dalam dunia pendidikan, guru yang membatu dengan gaya lama juga akan tergerus dan bahkan tak berdaya. Dan one important point to ponder, diberlakukannya MEA mengharuskan para guru untuk update dan upgrade karena jika tidak, serbuan guru ekspatriat akan menjadi ancaman bagai guru lokal. Atau malah sudah? Â Â
Selain inisiasi dari guru secara individual, pemenuhan akan TPACK perlu melibatkan inisiator yang lain, inisiator eksternal. Setidaknya ada empat pihak yang menjadi inisiator eksternal, yakni: sekolah tempat guru bernaung, yayasan (terutama bagi sekolah swasta), MGMP dan asosiasi guru.Â
Keempat inisiator eksternal ini diharapkan menelurkan program-program nyata secara periodik dan berkesinambungan. Porsi professional development dan enrichment program yang diusung oleh kelompok inisiator eksternal ini harus lebih besar.
Dalam pelaksanaannya, narasumber bisa saja berasal dari internal masing-masing inisiator. Misalnya, dalam lingkup sekolah sebagai inisiator eksternal, guru tertentu di suatu sekolah bisa berbagi kisah sukses kepada teman sejawat dalam konteks peer-learning. Demikian pula praktik tersebut bisa diterapkan pada ketiga kelompok inisiator eksternal lainnya. Selain berasal dari internal, narasumber bisa merupakan outsouring professionals.Â
Keempat inisiator eksternal tentunya bekerja sama dengan, misalnya institusi pendidikan tinggi, penerbit buku, institusi atau jawatan yang dikelola pemerintahan, perusahaan atau profesional perseorangan (utamanya bagi sekolah kejuruan), dan lain sebagainya. Dengan demikian akan tercipta hubungan linear simbiosis mutualisme antarjenjang dalam dunia pendidikan itu sendiri dan dunia pendidikan dengan dunia kerja. Â Â
Salah satu yang menjadi ciri khas Revolusi Industri 4.0 adalah pemanfaatan data. Data menjadi begitu penting bagi perusahaan-perusahaan, misalnya untuk mengetahui siklus belanja seseorang, apa saja yang dilirik dan dibelinya, frekuensi pembelian, berapa jumlah pembelajaan per bulan, dan lain sebagainya.Â
Dari data inilah muncul personalized shopping list hingga personalized promotion/reminder. Maka tidaklah mengherankan dengan fakta bahwa data menjadi salah satu pertimbangan perusahaan-perusahaan berbasis online seperti Alibaba menanamkan investasinya di Tokopedia.
Lalu, bagaimana data berperan buat guru?
Salah satu cara bagaimana pemanfaatan data adalah melakukan prediagnostic test ketika semester atau tahun pelajaran baru saja dimulai. Setelah itu proses pembelajaran pun berlangsung. Di akhir semester atau tahun pelajaran tes dengan model yang sama (posttest) pun diberikan kepada peserta didik.
Data yang diperoleh dari prediagnostictest bisa dimanfaatkan untuk mengetahui kondisi suatu kelas, sudah sampai di level manakah mereka. Bahkan data yang sama pun bisa digunakan untuk melihat individu peserta didik yang tergolong low achiever dan high achiever untuk kemudian diberikan perlakuan sesuai kebutuhan. Dari sinilah dimulai proses pembelajaran dengan berbasis data tersebut.
Model pretest-treatment-posttest sebenarnya sangatlah lazim dalam bidang pendidikan. Namun menurut saya, tren pemanfaatan data seperti pretest-treatment-posttest menjadi sangat relevan dan akan menjadi jamak di masa mendatang.
Karena saya berkecimpung dalam mata pelajaran Bahasa Inggris, contoh lain dari pemanfaatan data adalah dengan melakukan pengenalan strategi pembelajaran bahasa peserta didik melalui survei Strategy Inventory forLanguage Learning (SILL) yang disusun oleh Rebecca Oxford. Melalui survei tersebut, peserta didik akan mengetahui strategi pembelajaran bahasa seperti apa yang mereka cenderung lakukan: memory (strategy), cognitive, compensation, metacognitive, affective atau social. Â
Setelah mengetahui strategi pembelajaran bahasa yang mana yang paling menonjol, maka kemudian peserta didik bisa mengembangkannya untuk memaksimalkan pembelajaran. Guru pun tentu saja bisa menggunakan data ini untuk merancang pendekatan pengajaran (teaching approach) bahasa yang bervariasi. Sebagai referensi, penelitian tentang Language Learning Strategies ini pernah saya lakukan dan sudah diterbitkan di  Jurnal Pendidikan PENABUR No 21 -- Desember 2013.
Data yang diperoleh, baik pada contoh pertama maupun contoh kedua, akan berlanjut pada personalized learning. Saat ini saya sedang menerapkan personalized learning untuk keterampilan membaca (reading) dengan bantuan readtheory.org. Situs ini membantu saya merancang bahan bacaan yang tepat sesuai dengan level membaca peserta didik secara individu. Sebagai pengajar saya pun bisa memantau kemajuan masing-masing peserta didik dari minggu ke minggu.
Sebagai kesimpulan, Making Teachers 4.0 membutuhkan insisiasi dari semua stakeholder dunia pendidikan. Penguasaan teknologi sudah menjadi keharusan bagi guru di era seperti sekarang ini disamping updating dan upgrading pengetahuan dan keterampilan dalam mengajar.Â
Ketika tenaga pengajar pada institusi-institusi pendidikan sudah menguasai prinsip-prinsip (baca: kompeten) dalam TPACK dengan didukung secara penuh oleh para stakeholder lainnya, niscaya proses pembelajaran akan menghasilkan peserta didik yang mampu bersaing di era Revolusi 4.0.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H