Mohon tunggu...
Ando Ajo
Ando Ajo Mohon Tunggu... Administrasi - Freelance Writer

Asli berdarah Minang kelahiran Melayu Riau. Penulis Novel Fantasytopia (2014) dan, Fantasytopia: Pulau Larangan dan Si Iblis Putih (2016). Find me at: andoajo.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tetaplah Sehat

22 Maret 2016   00:49 Diperbarui: 22 Maret 2016   01:14 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="ilustrasi: Kesedihan ibu dan ayah saat bayinya sakit (36.media.tumblr.com/)"][/caption]“Dek, keknya badan anak panas, nih,” pria 30 tahun mengusap leher dan kepala bayi enam bulan dalam pangkuannya.

“Haa…?” sang istri sedikit tercengang, sepanjang pengawasannya dari pagi hingga petang, si kecil tak menunjukkan gejala apa-apa. “Itu, mungkin karena Abang baru habis mandi, makanya ngerasain badan anak jadi panas.”

“Bukan,” sanggah sang suami. “Ini panas beneran lhoo. Coba deh, dipegang.”

Benar, ternyata tubuh kecil itu panas, hingga bibir mungilnya terlihat memerah.

“Bawa ke klinik ya, Dek,” ujar sang suami.

“Kalau ke klinik, mahal Bang,” keluh sang istri. “Besok aja, ya, Adek bawa ke Puskesmas. Malam ini, biar dikompres aja.”

Sang suami hanya bisa menatap nanar wajah bayi yang tidur dalam gendongannya. Mendesah panjang.

Maafin Bapak ya, Nak… Bapak orang tua terburuk yang tak bisa menghasilkan uang banyak. Bahkan untuk membawamu ke klinik saja—Bapak gak punya, Nak.

 

Malam itu, suami-istri tersebut sama sekali tak bisa tidur, dan tak hendak memejamkan mata. Takut, kalau-kalau sang buah hati mengalami hal yang lebih mereka takutkan lagi. Bergantian, keduanya mengompres kepala dan leher serta ketiak sang bayi. Dan kamar dua kali dua meter berdinding tripleks itu, seakan tiada belas kasih, memanggang ruang sempit menjadi pengap dan pengap.

 

Pagi menjelang, sang suami telah lebih dulu berangkat ke pasar, membawa lontong dagangannya. Hanya ada uang dua puluh ribu rupiah saja di dalam kantong celananya. Dan ia berikan itu pada sang istri. Tak lupa berpesan, membawa anak sesegera mungkin ke Puskesmas terdekat.

Jam setengah tujuh pagi, sang istri membawa bayi yang sakit ke Puskesmas, ditemani ibunya. Panas tubuh sang bayi semakin tinggi pagi itu.

Sesampai di meja administrasi Puskesmas, sang istri melapor kepada petugas di balik meja. Tidak terlihat ibu-ibu yang biasanya berjaga di sana. Ke mana dia? Tanya wanita 25 tahun tersebut. Yang ada di sana—sekarang—seorang pria 35 tahunan.

“Ibu bawa kartunya?” tanya pria tersebut, acuh tak acuh saja sembari menelisik kolom-kolom berita di surat kabar dalam pegangannya.

“Ndak, Pak,” jawab ibu muda. “Kartunya hilang, Pak. Kami baru pindahan, gak tahu kese—“

“Mau berobat harus bawa kartunya,” pria berbalut seragam coklat muda khas PNS itu hanya melirik sekilas pada bayi dalam, lantas kembali mengalihkan pandangannya ke surat kabar.

“Tapi, Pak,” sang ibu muda tetap merayu demi kesembuhan bayinya. Sementara nenek sang bayi sama bingungnya, tidak tahu harus berbuat apa. “Gak apa-apa deh, Pak, saya bayar. Asal… anak saya bisa berobat.”

“Aduuh, Buk,” petugas itu melipat surat kabarnya. Tidak ada raut iba di wajahnya. Tidak sama sekali. “Kan, saya udah bilang: mau berobat harus bawa kartunya.”

“Udah, Nduk,” sang nenek mulai kesal pada petugas yang terkesan tiada menghargai selembar nyawa bayi di pangkuan anaknya. “Kita ke klinik aja.”

“Tapi, Mak—“

“Udah,” dengan langkah berat dan sakit hati yang tak bisa dilukiskan, wanita tua membawa anak dan cucunya ke klinik swasta, tak jauh dari Puskesmas tersebut.

 

“Gimana, Dek?” tanya sang suami pada istrinya kala baru pulang mengais rezeki malam itu.

Sang istri cepat-cepat mengusap air matanya, mencoba hadirkan senyum manis kepada sang suami.

“Udah, Bang,” sahut sang istri. “Tadi udah dibawa…”

“Dibawa ke mana?” selidik sang suami saat mendapati sang istri seperti ragu-ragu. Kemudian mencoba merasakan panas tubuh sang bayi dengan tangannya.

“Ke… klinik.”

“Laah…?”

Sang istri kemudian menceritakan perihal “penolakan” petugas Puskesmas pagi tadi. Dan itu, langsung saja membangkitkan amarah sang suami. Sang suami berniat akan melabrak petugas-petugas Puskesmas tersebut, kapan perlu malam itu juga. Ia sedikitnya tahu satu-dua orang petugas Puskesmas tersebut.

Namun, dengan berurai air mata, sang istri menghalangi langkah sang suami. Ia tahu pasti watak suaminya. Dan yang pasti, akan terjadi pertengkaran nantinya. Seseorang pasti terluka, begitu pikir sang istri.

Malam itu, umpatan kekesalan sang suami pada petugas Puskesmas selalu terdengar untuk beberapa jam lamanya.

“Pakai uang siapa?” tanya sang suami setelah emosinya mereda.

“Mak,” jawab sang istri sembari mengusap air mata yang masih meleleh di pipi.

Sesaat, pria itu menatap bayinya yang pulas. Ia menggendong bayinya ke pelukan, ia bisa merasakan panas tubuh sang buah hati meski tak sepanas pagi tadi. Berulang kali ia mengecup pipi dan kening sang bayi.

“Maafin Abang ya, Dek,” ujarnya menatap iba pada sang istri. Sang istri coba tersenyum. Pria itu kembali memandang wajah sang anak. “Maafin Bapak ya, Nak. Bapak janji—lebih kuat lagi mencari uang… Bapak janji,” ujarnya lirih dengan suara yang mulai serak. Kembali mengecup kening sang buah hati. Segulir kehangatan bergulir di pipi. “Tetaplah sehat ya, Nak…”

 

---o0o---

Dari kisah nyata seorang sahabat yang tak ingin disebutkan namanya – Grogol, Jakarta Barat.

-----

TULISAN INI PERTAMA KALI DIPUBLIKASIKAN DI WWW.KOMPASIANA.COM COPASING DIIZINKAN DENGAN MENYERTAKAN URL LENGKAP POSTINGAN DI ATAS, ATAU DENGAN TIDAK EMNGUBAH/MENGEDIT AMARAN INI.

Ando Ajo, Jakarta 22 Maret 2016.

Terima Kasih Admin Kompasiana^^

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun