Sang ibu, yang kala itu mendengar kedatangan Malin Kundang – setelah belasan tahun tiada kabar berita – begitu bersuka cita. Bangga ada, haru apalagi, kerinduan… jangan ditanya. Bisa bayangkan posisi sahabat seperti keadaan ibu Malin Kundang tersebut?
Dan sang ibu berangkat ke tepian pantai sembari menenteng makanan kesukaan Malin Kundang – Palai Bada, dalam bahasa Indonesia; pepes ikan teri putih. Coba sahabat bayangkan itu, begitu besarnya cinta sang ibu yang tidak memiliki harta apa pun, tetapi masih menyempatkan diri membeli “bada” dan dimasak, semua demi anak.
Namun, apa yang didapat sang ibu?
Yaa, sama seperti cerita-cerita yang sahabat dengar. Sang ibu mendapat penolakan dari Malin Kundang, karena “faktor” sang istri. Akan tetapi yang tidak bahkan jarang sahabat dengar adalah “sumpahan” sang ibu yang dianggap sebagian besar orang sebagai; sumpah kutukan. Mari kita lewatkan di mana adegan sang ibu yang jauh lebih hina dari seorang pengemis mengiba keharibaan sang anak dan (seharusnya) juga sang menantu.
Kala Malin Kundang berlalu dari hadapan sang ibu, sang ibu berucap lirih dan liris – sila buka KBBI untuk mengetahui apa itu; liris.
“Den harok ka basuo jo anak tacinto, bacarito tantang indahnyo maso lalu… Tapi nan den tamui bukan anak den nan dahulu, malainkan saonggok batu nan mambisu.”
Yang kalau ditransletkan, akan menjadi; “Kuharap akan bertemu anak tercinta, bercerita tentang indahnya masa lalu… Tapi yang kutemui bukan anakku yang dahulu, melainkan seonggok batu yang diam membisu.”
Yang “sangat kebetulan” sekali, ucapan lirih dan liris dari sang ibu “didengarkan” oleh Tuhan.
Di sinilah letak poin penting selanjutnya, dan yang paling-paling-paling diwanti-wantikan Tuhan dalam berbagai firmannya di kitab suci. Murka Ilahi adalah murka ibu, ridho Ilahi adalah ridho ibu.
Terserah sahabat bagaimana menafsirkannya^^. Tapi, sekali lagi penulis katakan; ibu Malin Kundang tidak “menyumpahi” anaknya dengan kata-kata; “Kukutuk kau jadi batu!” Tidak pula; “Anak durhaka, kukutuk kau!”