Mohon tunggu...
Ando Ajo
Ando Ajo Mohon Tunggu... Administrasi - Freelance Writer

Asli berdarah Minang kelahiran Melayu Riau. Penulis Novel Fantasytopia (2014) dan, Fantasytopia: Pulau Larangan dan Si Iblis Putih (2016). Find me at: andoajo.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Suara yang Menggetarkan Surga

12 Februari 2016   16:16 Diperbarui: 12 Februari 2016   16:30 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kegembiraan budak Abbesinia tercium Umaya. Lantas memerintahkan si budak untuk mencambuk seorang pemuda Arab dari kalangan bawah. Pemuda Arab bernama Amar itu pun sama gembiranya dengan sang budak Abbesinia pada “kabar penuh harapan” tersebut.

“Bilal… cambuk dia!” titah Umaya bak seorang raja diraja. “Apa kau tuli budak Abbesinia, haa! Cambuk wajah pemuda bodoh yang mengatakan majikan dan budak memiliki derajat yang sama. Cambuk dia, Bilal…!”

Pemuda Abbesinia, budak kulit hitam bernama Bilal bin Rabah bergeming. Apa yang ia dengar, sama persis dengan ucapan pemuda Arab itu tadi. Tuhan adalah satu, Tuhan tidak sama dengan apa yang ada di dunia ini. Bilal, menjatuhkan cambuk ke lantai. Tak ingin menyakiti pemuda Arab yang bukanlah siapa-siapa bagi dirinya itu.

“Bilal…!” Umaya naik pitam. “Berani kau menentang aku, Tuanmu ini. Haa…?”

“Bilal, cepat kau ambil cambuk itu,” ujar Amar yang menyadari pasti jika Bilal memiliki keyakinan seperti halnya dengan dirinya sendiri. Lewat tubuh bergeming itu, lewat sepasang mata membersit harapan tinggi. “Bilal. Cambuklah aku. Tiada mengapa, aku rida atas apa yang akan kau lakukan. Bilal, jangan diam saja! Me—reka akan membunuhmu Bilal. Lakukalah…!”

 

Demikianlah sikap Bilal, ia tetap membangkang perintah Umaya. Hingga Umaya benar-benar di ujung amarahnya, dan memerintahkan budak-budak lainnya untuk menyiksa Bilal.

“Siksa budak jahanam itu. Cambuk dia!” titah Umaya dengan lantang. “Jangan sampai kalian lewatkan sejengkal pun tubuhnya… Cambuk lagi!”

Tiada tangis alih-alih ratap mengiba yang keluar dari mulut Bilal, meski sekujur badan luka akibat sabetan cambuk. Memerah terkuak, mengalirkan darah yang tidak sedikit. Hingga panasnya gurun di siang nan teramat terik sekalipun, Bilal tiada mengeluh.

“Katakan Bilal,” Umaya unjukkan kuasa dalam seringai menjijikkan. “Katakan Putra Abdullah itu pembohong! Katakan Muhammad itu pendusta. Katakan, Bilal! Katakan…!”

“Bagaimana mungkin seorang putra yang amanah, seorang yang jujur, laki-laki yang dapat dipercaya… harus kusebut pembohong?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun