“Iya, aku pasti akan memenuhi janjiku. Ta—“
“Erick! Please… jangan mengulur-ulur terus!” Suara Liona terdengar berat dan serak di telinga Erick. “Aku gak bisa gini terus, Hon. Atau—atau kamu berniat mengingkari?”
“Bukan, Sayang. Bukan.” Semakin lama Erick melayani omongan Liona, semakin deras pula keringat yang memercik di kening. Erick harus memutar otak dengan cepat. “Gi-gini aja, malam minggu kedua, bagaimana?”
“Kamu berniat gak sih, Hon?! Dan—dan hape-mu gak aktif sama sekali!”
“Bukan-bukan seperti itu. Itu—kecopetan, iya.” Erick harus menggunakan handuk kecil untuk mengusap peluh yang membanjir. “Gini, dengar deh. Itu—kan pas tanggal empat belas. Nah, menurut kamu, bagaimana?”
“Valentine…” hening sejenak. “Baiklah, Hon. Kupikir itu lebih romantis. Ahh, kamu—kenapa bikin kejutannya lama banget, sih? Tapi ya udah. Aku suka kejutan.”
“Iya, maaf ya, Sayang.”
“It’s okay. Bye Honey, love you.”
“Bye…”
Erick menghela napas dalam-dalam. Terlepas beban untuk saat ini, pikir pria tiga puluh lima tahun. Ia memutar pandangan, dan kamar ini, benar-benar pengap. Erick menyibak gorden yang menghalangi masuknya cahaya. Dan membuka salah satu jendela, membiarkan sejenak sepoi angin menerpa kamarnya. Di atas pembaringan yang awut-awutan, ponselnya tergeletak “tak bernyawa”.
Yup, benar-benar kusut dan berantakan, gumam Erick. “Tidak lebih kusut dari otakku!”