Kamar itu terlihat jauh lebih baik dari hari-hari sebelumnya. Saking rapinya, tidak ada hal yang istimewa lagi di dalam kamr itu. Erick telah memindahkan semua barang-barangnya, ke dalam dus-dus besar, dalam bungkusan kantong plastik hitam. Semua sudah dikemas.
Erick melirik arloji di pergelangan tangan kirinya. Senyum hambar terlukis di sana. Bukan karena mengingat janjinya kepada Liona. Tapi… arloji itu sendiri.
Malam, pukul 21:15:00.
“Sayang, kok kamu ngelamun aja dari tadi, sih? Oh iya, jam tangan kamu ke mana?”
Erick memaksakan gurat di bibirnya melengkung ke atas. Ia memenuhi janjinya untuk bersama Liona weekend ini, memesan satu meja dihiasi lilin ungu beraroma lavender kesukaan Liona. Makan malam yang romantis, dan yaa… pas di hari yang oleh orang-orang disebut: hari kasih sayang.
Kenyataannya, tidak ada satu apa pun yang mampu memberi sedikit cahaya di wajah Erick malam ini. Tidak pula dandanan menggairahkan dari Liona yang sudah dua bulan menjadi kekasihnya. Hampa.
“Kamu kenapa, sih?” dan perangai Liona kembali kambuh. “Kalau gak suka, kenapa kamu ajak aku ke sini?!”
Diajak salah, gak diajak salah. Erick hanya bisa tertawa di dalam hati, menertawai dirinya sendiri. Satu pemikiran melintas saat itu juga dalam tempurung kepala Erick.
“Ngomong dong, Sayang. Ngomong!”
“Oke.” Erick menghela napas jauh lebih dalam. Sementara pandangan Liona tertumbuk ke wajah Erick. “Yang, kamu yakin benih yang se—“
“Udah deh!” wajah Liona mendadak memerah. Dan suara yang melengking tiba-tiba, mengundang banyak pasang mata ke arah mereka berdua. “Kita dah ngomongin ini dari dua minggu yang lalu, kan? Jangan dibahas lagi!”