[Renungan Jumat]
Tersebutlah sebuah kisah. Bukan kisah sekadar pengantar tidur, bukan pula kisah buah imajinasi. Ianya terukir dalam sejarah, terekam dalam ingatan para ahli. Kisah Ali putra Abu Thalib dalam perang menghadapi salah seorang panglima perang Quraisy yang berniat melenyapkan umat Muslim beserta junjungan, Rasulullah.
Sebab kebencian menutupi hati, kepentingan politik demi harta diri, hingga fitnah melenggang menutupi sanubari, dan perang pun tak bisa dihindari.
Ali putra Abu Thalib terdesak dari serangan panglima berbadan tegap, namun tak serta merta membuat ia lengah, apalagi mengalah.
“Hei, Ali… pulanglah engkau dengan segera dan temui ibumu sebelum ujung pedangku menembus dadamu.”
Kata-kata merendahkan itu terucap di sela tawa sang panglima, semakin menyudutkan Ali sang menantu Baginda Rasul. Seolah Ali tak lebih dari anak kecil yang masih menyusu dalam pelukan ibunya.
Meski wajah memerah, namun Ali putra Abu Thalib tetap berlaku tenang.
“Demi Allah, urusan mati hanya milik Allah Sang Mahapencipta. Bukan kau, tidak pula aku.”
Panglima Quraisy mendengus dan tertawa kencang, menatap Ali dengan selaksa kebencian.
“Hei, Ali. Kenapa kau dan kalian semua tidak menurut saja, mengapa memilih menentang kami?”
Ali putra Abu Thalib berdiri gagah, menghunus pedang di dada. “Aku tidak menentang, tidak pula melawan siapa-siapa. Aku hanya tunduk pada perintah Allah. Dan kami berlindung kepada Allah dari orang-orang kafir sepertimu yang zalim, munafik mengingkari perjanjian, dan menghalang-halangi dakwah Rasulullah.”