“Duhai Humaira, janganlah engkau menangisi atas ajalku hingga menjadikan engkau golongan orang-orang yang merugi. Panggilkanlah kembali sahabatku itu, ia masih berdiri di depan rumah.”
Maka kembalilah Aisyah membuka pintu, dan benar, sosok gagah yang akhirnya ia ketahui sebagai perwujudan terindah dari Malak Al-Maut masih berdiri mematung di sana. Aisyah putri Abu Bakar menggigil, pertama kali dalam hidupnya menghadapi sesuatu yang “teramat besar”.
Datanglah Malak Al-Maut menemui Baginda Rasul yang terbaring lemah di atas pembaringannya. Dengan rupa dan tingkah laku terindah yang bisa ia berikan. Begitu salamnya dijawab Baginda, sang maut duduk di dekat kaki Baginda. Sementara Aisyah, tetap kembali memijit perlahan dahi Baginda.
“Duhai Sang Maut, mengapa engkau duduk menjauhiku? Apakah aku terlihat begitu lemah saat ini hingga engkau menjaga jarak dariku?”
Malak Al-Maut tiada mampu menjawab sepatah kata pun, ia menggeser duduknya di samping kanan Baginda Rasul.
“Sungguh janji Allah Rabb-ku adalah sesuatu yang tepat. Begitupun ajalku.”
“Wahai jiwa yang dirindukan penduduk syurga, seandainya engkau meminta penangguhan akan ajalmu, maka aku akan kembali ke Sidratul Muntaha menemui Allah Azza wa Jalla.” Begitulah ucapan Malak Al-Maut tidak sanggup menatap wajah Baginda Rasul tanpa air mata tercurah.
“Sungguh aku tidak akan melakukan itu,” senyum Baginda Rasul.
“Dunia ini masih butuh kehadiranmu, duhai kekasih Allah—“
“Tidakkah engkau menyadari, duhai Maut sahabatku?” sanggah Baginda Rasul masih dengan senyuman di sela pening kepala yang kian berat. “Bila aku meminta penangguhan atas ajalku sendiri—meski hanya untuk sedetik, sesungguhnya lah aku telah menodai ketetapan Allah Rabb-ku. Dan tidaklah karenanya umatku akan mengingkari itu, menjadikannya alasan untuk meninggalkan ajaran.”