“Yaa Humaira—wahai pipi yang bersemu—siapakah gerangan tamu tadi?”
“Yaa Rasul, sungguh aku tidak mengenal laki-laki itu sebelumnya. Dia ingin bertemu denganmu, tetapi mengingat engkau sedang tidak sehat, kuminta ia kembali esok hari,” jawab Aisyah sembari terus memijit dahi Baginda Rasul.
Lagi-lagi terdengar pintu diketuk seseorang, dan lagi-lagi dari tamu yang sama. Kejadian itu berlangsung hingga tiga kali, dan tiga kali pula Aisyah putri Abu Bakar meminta tamu gagah itu kembali lagi pada esok saja.
Baginda Rasul akhirnya berkata kepada Aisyah setelah kejadaian yang ketiga kalinya.
“Yaa Humaira, tahukah engkau siapa orang mengetuk pintu depan sampai tiga kali itu?”
“Hanya Allah dan Rasul-Nya sajalah yang tahu,” senyum Aisyah.
“Sesungguhnya, bila tamu itu datang dengan wujud sebenarnya, niscaya ruh di dalam tubuhmu akan tercerabut saat itu juga, yaa Humaira.”
“Astaghfirullahaladzim…”
Seketika pucatlah seluruh tubuh Aisyah putri Abu Bakar. Bukan membayangkan akan ajalnya sendiri, namun hati kecil berbisik gemetar, Baginda Rasul akan berpulang. Hingga tak kuasa Aisyah menahan bulir air mata.
“Yaa Humaira, sesungguhnya ajal itu adalah ketetapan Allah. Adakah makhluk di syurga dan di bumi ini yang dapat menghindarinya?”
Aisyah menggeleng lemah. Ia sangat meyakini itu, tetapi sisi manusiawinya tak henti menjerit, kenyataan ke depan bawha ia akan kehilangan sosok dambaan semua insan, tidak saja di bumi tapi juga mereka-mereka di langit sana.