Mohon tunggu...
Ando Ajo
Ando Ajo Mohon Tunggu... Administrasi - Freelance Writer

Asli berdarah Minang kelahiran Melayu Riau. Penulis Novel Fantasytopia (2014) dan, Fantasytopia: Pulau Larangan dan Si Iblis Putih (2016). Find me at: andoajo.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Analogi 3; Berlian

8 November 2015   17:04 Diperbarui: 8 November 2015   17:04 373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Mengalir cerita pada bentang masa. Kaki kecil melangkah riang tiba-tiba terpana. Pada sahutan pada sorakan tak bermakna, padahal mereka teman juga. Entah pada mereka, tapi iya baginya.

Gadis kecil pulang dalam sedih tak terkira. Ingin bertanya pada satu-satunya penghibur lara, pelepas duka, sosok anggun bernama bunda.

Bunda tergelitik ingin tahu, sebab si kecil pulang merungut tak tentu.

“Buah hatiku sayang, mengapa sedih wajah yang engkau tampakkan?”

Gulir bening membasahi pipi, gadis kecil terisak cerita mengawali.

“Bunda… apa itu putih? Apa yang salah pada yang hitam? Kenapa kuning dan coklat begitu berbangga? Mengapa kita berbeda?”

Bunda mengerti apa yang dirasa. Si kecil pasti gundah gulana, tentang warna, tentang diri yang tak pernah dan tak mungkin serupa. Bunda mengelus lembut rambut sang cinta, mengulas senyum sejuta sejuk sejuta makna.

“Anakku manis, anakku sayang. Tiada yang buruk dari tiap-tiap warna. Adanya mereka untuk mencerahkan dunia. Keindahan sejati sesungguhnya ada dalam balutan yang berbeda. Putih adalah muasal segala warna. Hitam pula perpaduan dari semua warna.”

“Kenapa bisa begitu Bunda?”

“Seperti berlian, sayang. Seperti berlian. Kala berlian ditimpa cahaya, berlian tersenyum hadirkan kilau memesona. Dalam warna-warni yang berbeda.”

“Lalu hitam?”

Bunda tersenyum, mengelus sayang.

“Coba kamu campurkan seluruh warna dari cat lukis itu. Apa yang kamu lihat, apa yang kamu temukan? Bukankah warnanya menjadi satu? Berpadu dalam satu biasan. Hitam.”

Gadis kecil tersenyum senang. Resah di hati tidak lagi mengalang, terbuang, biarkan ia menjauh dan menghilang.

“Sama berharga, sama bernilai. Seperti berlian putih berkilauan, namun tak kalah anggun si berlian hitam. Meski berlian berkubang lumpur sekalipun.”

Gadis kecil tak lagi sedih, memeluk bunda dengan segala cinta. Terbesit suara dalam asa, berharap esok teman-teman tak lagi bercerita. Tentang dia, tentang lainnya. Cukup kita, dalam satu rangkul rasa. Kita memang berbeda, tapi indah tak ternyana.

 

TULISAN INI PERTAMA KALI DIPUBLIKASIKAN DI WWW.KOMPASIANA.COM COPASING DIIZINKAN DENGAN MENYERTAKAN URL LENGKAP POSTINGAN DI ATAS, ATAU DENGAN TIDAK MENGUBAH/MENGEDIT AMARAN INI.

Ando Ajo, Jakarta 08 November 2015.

Sumber ilustrasi.

Terima Kasih Admin Kompasiana^^

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun