Mohon tunggu...
Ando Ajo
Ando Ajo Mohon Tunggu... Administrasi - Freelance Writer

Asli berdarah Minang kelahiran Melayu Riau. Penulis Novel Fantasytopia (2014) dan, Fantasytopia: Pulau Larangan dan Si Iblis Putih (2016). Find me at: andoajo.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[Mini Seri] Jangan Dikurangi

25 Oktober 2015   13:46 Diperbarui: 25 Oktober 2015   13:46 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menghindari Korupsi Sedari Dini

 

Suatu hari, Haekal – bocah 10 tahun – melangkah dengan ceria menuju lapangan sambil bersenandung. Ia ingin menghabiskan sore dengan bermain bola dengan teman-temannya, menunggu datangnya waktu magrib. Namun langkah Haekal terhenti, senandungnya menggantung, seseorang memanggilnya.

“Kal, Haekal…?”

Haekal menoleh, dan ia mendapati seorang perempuan setengah baya melambaikan tangan memanggilnya. “Eeh, Bu RT,” gumam Haekal.

Haekal melangkah mendekati Bu RT.

“Iya, Bu?” tanya Haekal.

“Bantu, Bu RT, ya?” pinta Bu RT, Haekal mengangguk. “Beliin mangga buat Ibu, di depan gang sana,” kata Bu RT sembari menyerahkan sejumlah uang pada Haekal. “Sekilo aja.” Haekal kembali mengangguk sembari menerima lembaran uang dari tangan Bu RT. “Hmm, biasanya… sekilo isinya empat buah,” kata Bu RT lagi.

“Ntar, Haekal, balik lagi,” pamit Haekal dan berlalu menuju gang di depan sana.

 

Seorang pedagang buah mangga tengah menyerahkan uang kembalian pada seorang wanita yang sebelumnya membeli mangga daganggannya. Ia tersenyum melihat Haekal menghampirinya.

“Haekal,” sapa pedagang itu. “Mau beli mangga?”

“Iya, nih, Kang Maman.” Haekal tersenyum lebar. “Buat, Bu RT. Sekilo aja ya, Kang.”

Sang pedagang tersenyum mengangguk, lantas memilih mangga yang terbaik.

“Yang ranum dan manis ya, Kang,” pinta Haekal.

“Beres, mah,” Kang Maman tersenyum lagi. Mangga yang ia pilih ditaruh ke atas piring timbangan. Jarum timbangan menunjukkan angka; 1 Kg.

“Satu, dua… lima buah?” gumam Haekal dalam hati, menghitung jumlah buah mangga yang dimasukkan Kang Maman ke dalam kantong plastik.

“Niih…” Kang Maman menyerahkan bungkusan plastik yang berisi lima buah mangga ranum pada Haekal.

“Eeh, i—ya, Kang.” Haekal menerima bungkusan dan lantas menyerahkan uang pada Kang Maman. “Terima kasih, Kang.”

“Sama-sama,” sahut Kang Maman. “Hati-hati,”

“Iya, Kang,” Haekal berlalu.

 

Sesampainya di dekat lapangan, Haekal berhenti, memikirkan sesuatu. Ia membuka ikatan kantong plastik, menghitung lagi jumlah mangga yang ada.

“Iya, benar. Lima buah,” gumamnya seorang diri. “Eeh, tadi kan Bu RT bilang cuman empat buah. Jadi, kalau diambil satu, kan gak apa-apa.”

Haekal ingin mengambil satu buah mangga, bermaksud menyembunyikannya dalam sarung kotak-kotak hitam-putih yang selalu ia sandang.

 

“Jangan dikurangi, Kal,” seseorang muncul di hadapan Haekal. Haekal terperangah, orang itu menyentuh bahu Haekal. “Ntu, perbuatan gak terpuji.”

“Eeh… Bang Pitung,” Haekal gugup. “Ta—pi, kan Bu RT tadi bilang sekilo itu isinya cuman 4 buah aja. Ni ternyata ada lima. Kan kalau Haekal ambil satu, Bu RT gak bakal tau, Bang.”

Si Pitung tertawa halus sembari mengelus kepala Haekal. Ia bertolak pinggang, setengah membungkuk menatap ke dalam mata Haekal.

“Empat atau lima, itu tidak masalah. Akan tetapi, Bu RT kan pesannya sekilo buah mangga, nah kalo ntu mangga kamu ambil satu, beratnya jadi berkurang, kan?” Haekal mengangguk-angguk mendengarkan nasihat Si Pitung. “Karena nantinya jumlah mangga yang kamu kasiin ke Bu RT berjumlah empat, mungkin Bu RT gak menyadarinya. Tapi… ada yang tahu,” Si Pitung menunjuk dada kiri (hati) Haekal, dan ke atas (Tuhan).

Haekal mengangguk dan mengurungkan niatnya semula, kembali melangkah menuju rumah Bu RT ditemani Si Pitung.

 

Sesampainya di rumah Bu RT, Haekal langsung memberikan buah mangga dalam bungkusan pada Bu RT. Setelah membalas ucapan terima kasih dari Bu RT, Haekal kembali menuju lapangan bersama Si Pitung.

Bu RT membuka bungkusan, ternyata mangga berjumlah lima buah, ia tersenyum. Lantas kembali memanggil Haekal yang baru beberapa langkah menjauh.

“Kal, Haekal,” panggilnya. Haekal menoleh. “Bentar, sini dulu,” Bu RT melambaikan tangannya meminta Haekal kembali mendekat.

“Iya, Bu?” Haekal bingung, mungkin Bu RT ingin meminta bantuannya lagi.

“Nih, buat kamu,” Bu RT menyodorkan satu buah mangga pada Haekal.

Haekal ragu-ragu, ia menoleh pada Si Pitung. Si Pitung tersenyum mengedipkan sebelah matanya. Haekal menerima pemberian Bu RT.

“Makasih, Bu,” Haekal tersenyum senang, berpamit diri dan kembali menuju lapangan.

Bu RT tersenyum puas memandangi punggung Haekal yang berlalu didampingi Si Pitung, sebelum akhirnya kembali masuk ke dalam rumah.

 

“Apa… gak apa-apa, nih, Bang Pitung,” tanya Haekal bingung sambil menimang-nimang buah mangga, “kalau Haekal makan nih buah mangga, gak dosa kan?”

Si Pitung tertawa halus kembali mengelus kepala bocah tersebut. “Kalau yang ini, itu rezeki kamu. Yang penting, amanah Bu RT udah kamu sampaiin. Perbuatan baik, akan berbuah baik juga.”

Haekal mengangguk-angguk lagi, kembali melangkah riang menuju lapangan. Si Pitung tertawa lagi, mengiringi langkah bocah tersebut, dan merangkul bahunya.

Cahaya mentari sore bak lembaran sutra emas memayungi bumi. Begitu indah dan elok, tiada pernah berkurang ‘kehangatan dan kasih’ yang diberikannya pada kehidupan. Segerombol burung menambah elok rona langit sore.

 

 

TAMAT

-o0o-

TULISAN INI PERTAMA KALI DIPUBLIKASIKAN DI WWW.KOMPASIANA.COM COPASING DIIZINKAN DENGAN MENYERTAKAN URL LENGKAP POSTINGAN DI ATAS, ATAU DENGAN TIDAK MENGUBAH MENGEDIT AMARAN INI.

Ando Ajo, Jakarta 25 Oktober 2015.

Sumber ilustrasi.

Terima Kasih Admin Kompasiana^^

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun