“Tunggu dulu,” sergah Phill, lantas berpaling pada Luna. “Apa maksud semua ini?!”
“Aku yang harusnya bertanya, Phill…!” jerit Ibunda Luna.
“Ka-kalian saling mengenal…?!” imbuh Luna menengahi.
“Terlalu mengenal,” sahut sang ibu. “Dan kau, anak sialan… apa tidak ada laki-laki lain yang bisa kau ajak tidur di kamarmu, haa…?!”
“Hei,” Phill benar-benar mengelam. Bahkan menggigil memandang wajah wanita yang sepantaran dengan dirinya itu. “Ja—jangan bilang, di-dia…”
Wanita itu meludah kencang, tepat mengenai dada Phill. “Benar…!” jeritnya. “Dia anakmu. Jahanam. Kau, kau menghamili anakmu sendiri. Darah dagingmu. Laki-laki terkutuk, ini yang akan kaudapatkan. Teruskan saja pesonamu, jahanam…!”
Luna tak lagi bisa mendengar jeritan sang ibu, tak pula bisa merasakan pijakan kakinya. Hal terakhir yang ia ingat, bahwa ibu dan ayahnya telah lama berpisah meski tanpa ada pernikahan, dan itu jauh sebelum ia lahir. Tapi…
Luna terhempas, pingsan. Phill telah berusaha menangkap tubuhnya, namun terlambat. Kepala gadis itu membentur sudut meja, meninggalkan luka menganga di bawah dagu dari beling tajam yang tercipta karena benturan.
“Luna…”