Hubungan Phill dan Luna semakin mesra, dan setiap perjumpaan intensitas cumbuan semakin menjadi-jadi bak lebatnya guyuran air di tengah musim penghujan.
“Jangan takut, biasa kok pasangan berhubungan intim,”
Rayu Phill satu ketika, dan Luna mengulum senyum membenarkan ucapan yang disertai tatapan penuh gairah dari Phill itu. Pacaran tanpa hubungan badan? Itu, kedengaran konyol, bisik Luna dalam hati. Ini bukan lagi zaman di mana kuda gigit besi. Tabu, satu dari segelintir kata yang tak lagi diacuhkan orang. Persetan saja. Suka sama suka, masalah buatmu?
Hingga, Luna menyadari ada lain hal yang tumbuh di dalam diri, buah cinta itu sendiri. Janin. Saat Luna memberitahukan kehamilannya pada Phill, dengan sukarela Phill berkata,
“Aku akan menikahimu. Terlalu tua untukku bila harus berpindah ke pelukan lainnya,”
Bak berada di atas hamparan rumput hijau nan basah oleh embun, dikelilingi ribuan kelopak bunga yang sama mekar, begitulah perasaan Luna kala Phill bersedia mempertanggungjawabkan janin di dalam rahimnya.
“Phill, kau… sungguh-sungguh?!” Luna tak mampu menahan kegembiraan dalam diri, hingga nada bergetar jelas mengiringi. Pun, mata yang menghangat.
“Sudah kubilang bukan?” Phill merangkul Luna dengan segenap cinta yang ada, mengecup mesra dahi bening dalam dekapan. “Aku mencintaimu. Jadi… kapan kau akan mempertemukanku dengan orang tuamu?”
Luna begitu bahagia, hingga senyum manis tak pernah pupus dari bibirnya. “Secepatnya, Sayang. Secepatnya.”
***