“Aku mencintaimu, aku mencintaimu, aku mencintaimu, aku mencintaimu, aku mencintaimu…”
Apa kau bisa dengar itu? Atau masih kurang? Akan aku lanjutkan.
“Aku mencintaimu, aku mencintaimu, aku mencintaimu, aku mencintaimu, aku mencintaimu, aku mencintaimu, aku mencintaimu, aku mencintaimu, aku mencintaimu, aku mencintaimu, aku mencintaimu, aku mencintaimu, aku mencintaimu, aku mencintaimu, aku mencintaimu…”
Nah, sekarang giliranmu. Ayoo, jangan malu-malu. Katakan hal serupa padaku. Ayolah Ayangku tersayang. Ayang… oooi Ayang, ayoo katakan! Waah, aku benar-benar tidak merasa mual sedikit pun. Meski di sini begitu amis oleh darah.
Sial, red-wine dalam gelasku habis. Sebentar, aku akan mengambil botolnya saja, daripada harus bolak-balik mengisinya ke dalam gelas lagi. Hehe, jangan takut. Gelasnya kutinggalkan tepat di hadapanmu.
Nah, aku kembali Sayang. Berengsek… kenapa kamar mandi ini mulai terasa sempit? Apa karena bau amis dari genangan darah ini? Haha, lupakan saja.
Sampai di mana tadi? Oh iya… aku sudah mengucapkan apa yang pernah dan selalu kaupinta. Sampai dua puluh kali, lhoo. Haha, itu benar-benar rekor. Aku harus mencatatkan itu. Sekarang aku akan menuangkan wine ini ke dalam gelas, tapi… aku harus mendengar kau mengatakan hal serupa. Oke, Ayang?
Nah, nah, nah… sekarang aku yang harus mengucapkan, hmm… apa itu? Oh iya; “Kenapa membisu? Apa kau itu patung?”
Ooh, maafkan aku sayang. Sial, ini pasti gara-gara wine yang enak ini. Maaf, aku lupa. Hmm, kau cantik sekali Ayang. Lihat! Lihat seluruh tubuhmu yang telanjang ini. Indah sekali. Kau sangat indah tanpa setetes darah pun yang mengalir dalam tubuhmu.
Oops… aku lupa lagi. Sial, wine ini begitu nikmat. Aku lupa, jika darahmu telah memenuhi bathup tempat kau “tertidur” hehe, bahkan melimpah menggenangi seluruh permukaan lantai kamar mandi ini.
Ahh, benar-benar sial. Jejak telapak kakiku mengotori ruang depan dengan bercak darahmu. Nanti saja, aku akan mengepelnya.